Pria itu benar-benar datang. Senna pikir pria itu menghilang begitu saja karena orang tua pria itu sudah pasti melarang Sean untuk menemui dirinya kembali. Mendengar dari cerita Vita beberapa hari setelah dia tinggal disana, Sean ternyata memang dari keluarga berada dan terpandang.
Tidak bisa dipungkiri kalau Senna merasa wajar saja jika pria itu meninggalkannya. Semua pria pasti begitu, kan? Pada akhirnya memang dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri dibanding bergantung dengan orang lain.
"Sen, apa kabar?" Agak canggung sebenarnya. Tapi Sean memaksakan diri untuk bersikap biasa saja seperti biasanya. Dia tidak mau terlalu kaku untuk berhadapan dengan Senna
Senna hanya mengedikkan bahunya. "Better. Gue baru tau lo balik, dari mana aja?"
"Here and there. Maklum gue di depak dari Indo sama bokap gue sendiri..." jelas pria itu dengan santai. Kemudian terkekeh pelan. "Gue kira lo bakal nyekik anak gue gitu pas mereka bikin lo malu di depan keluarga lo..."
Perempuan itu berdecak. Kemudian bersandar dan melipat tungkai kakinya dengan nyaman. Tidak ada gunanya bicara serius dengan Sean. "Maunya, cuma gue masih inget dosa. Lagian bukan salah anak lo sih, salah ceweknya Sandy..."
Sean menganggukkan kepalanya. Pria itu menyeruput kopinya kemudian. Sudah lama mereka tidak bicara santai seperti ini. Dan sudah lama pula Sean tidak mendaratkan bibirnya di bibir lembut Senna.
Pria itu mendesah pelan. Sudah bukan saatnya berpikiran seperti itu. Dia tidak mau mengulang kesalahan yang sama seperti kemarin. "Sorry baru sekarang nemuin lo..."
"Ya. Susah sih kalo lo jadi anaknya Datu Rahdian Kartodiningrat yang terhormat banget. Kok lo gak bilang sih kalo lo kakaknya si---"
Sean mengangkat tangannya menggelengkan kepala. "Hm. Kasian adek gue keseret-seret jelek ntar namanya. Tapi gue udah gak masuk keluarga mereka lagi, kan?"
"Pantesan. Lo ganti nama berarti? Adik lo aja masih pake nama bokap lo kan begitu-begitu..."
Pria itu terkekeh. Mereka sepertinya sudah terlalu sibuk membahas keluarga Sean. Sementara pria itu mulai merasa agak sedikit nyaman membicarakan keluarganya. "Nama asli gue Ananda Oceano Kartodinigrat. Cuma coret belakangnya doang apa ribetnya sih..."
Senna melongo. "Keluarga lo obses banget sama geografi, ya?"
"Iya. Bos lo aja namanya itu diambil dari nama Auditorium tapi gue lupa dimana, lo cari aja sendiri..." Sean kemudian merapikan kemejanya sementara perempuan itu terkekeh, dia menaikkan satu sudut bibirnya menahan senyum. "Sen..."
Senna menaikkan kedua alisnya, "Hm?"
"Kemaren gue ketemu sama orang tua lo..."
Pernyataan Sean membuat senyuman Senna menghilang seketika. Dia menganggukkan kepalanya mengerti kemana arah pembicaraan mereka. "Mereka pasti gak maafin lo, kan?"
Sean menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Mereka minta hal spesifik ke gue, dan gue tau ini bukan penyelesaian masalah buat kita..."
Senna mengerti maksud Sean, sudah jelas Mamanya yang kolotan itu pasti meminta hal yang tidak-tidak. "Gue tau..." kata Senna dengan pelan. "Gak apa-apa, Sean. Mama emang gitu orangnya. Sorry, ya"
Pria itu diam. Beberapa saat setelah Senna mencoba tersenyum kepadanya, Sean menghela nafas. "Gue bilang gue gak bisa. Gue minta maaf, Sen. Tapi bukan gue orang yang lo butuhin..."
Senna ingin bertanya kenapa. Tapi dia tidak bisa menggerakkan bibirnya karena dia tahu jawabannya dengan jelas. Mereka tidak memiliki ketertarikan lain selain fisik. Tapi setidaknya, seharusnya, sedikit saja pria itu mempertimbangkan karena Sean telah membayar keperawanannya
"Kita gak ada di hubungan yang orang pikir. Gue gak bisa bikin lo ada di dalem hubungan yang bakalan bikin kita berdua gak nyaman pada akhirnya..." jelas Sean kemudian menyatukan kedua tangannya dan mendekatkan tubuhnya kepada Senna, "Sorry kalo gue ngambil keputusan yang kayak gitu..."
Perempuan itu mencoba bersikap biasa saja. Dia pikir Sean akan berusaha mempertimbangkan segalanya. Karena Senna sudah menyerahkan dirinya pada pria itu. Tapi toh, benar kata orang. Para pria hanya penasaran pada tubuh seorang gadis. Begitu mereka selesai, mereka akan pergi begitu saja. Walaupun Sean tidak pergi tapi dia yakin kalau Sean akan meninggalkannya.
"Kenapa, Sean?" Senna sempat terkejut dengan pertanyaannya sendiri
Sama dengan Sean yang sekarang melihat ekspresi terkejut milik Senna. Pria itu mengulum bibirnya sebelum bicara. Menatap lurus kepada manik mata yang sekarang mengharapkan jawaban pada dirinya. "Gue bukan orang yang tepat, Sen. Setelah kenal sama lo, gue sadar kalo lo cewek baik-baik. Every man's standart, every man's dream..."
But i'm not your dreams. "Ah, i see. Jauh dari standart lo tapi, kan. Gue ngerti..."
Sean menggigit bibirnya. "Maksud gue, lo itu lebih dari sekedar itu buat gue. You're out of my league. Gue bukan orang baik-baik yang pas buat lo. Gue yakin akan ada waktunya nanti lo bakalan dapet cowok baik yang bakalan bisa ngimbangin lo..."
"Ya..." Senna mengerti kemana arah pembicaraan mereka. "Gue ngerti, Sean. Gue juga gak mungkin minta nikah sama lo..."
Mereka berdua terdiam. Senna tahu semenjak keluarga Sean terungkap, jelas dia berada pada posisi yang tidak mungkin mencapai tempat Sean berada. Memang benar kalau begitu dia hanya perempuan murahan yang bisa Sean bayar kapan saja untuk menghangatkan ranjang pria itu.
Begitu pula dengan Sean yang sadar kalau dia bukanlah pria yang bisa mengimbangi Senna. Mulai dari kepolosan Senna hingga kebaikan perempuan itu dan sikap santainya yang membuatnya nyaman. Pria itu tersenyum pada akhirnya, "Thanks, Sen. It's a last goodbye..."
"Ya..." Senna mengulurkan tangannya sampai pria itu menjabat tangannya dan mereka sama-sama bangkit dari duduk mereka.
Jabatan tangan Senna begitu hangat dan lembut, Sean yakin dia akan mengingat jabatan terakhirnya dengan Senna karena sekali lagi tidak bisa memeluk perempuan itu. Mengingat lembut kulit Senna untuk terakhir kalinya. Merasakan sentuhan manis Senna sebelum pria yang benar-benar akan memiliki Senna datang di kehidupan perempuan itu.
"Thank you, Se. Buat semua bantuannya selama ini..."
Sean terkekeh, "The pleasure is mine..."