Sean menggerakan jarinya mengukir sesuatu di punggung mulus Senna yang sudah bersandar di atas dadanya. Mereka memilih apartement Sean sebagai tempat melampiaskan hasrat yang tertunda milik Sean.
Perempuan itu sama saja. Dia berdiam cukup lama menikmati jari-jari Sean di kulit mulusnya. "Dia baik"
"Hm..." Sean memilih menjeda sebelum akhirnya berkata, "Terus apa lagi yang lo pikirin?"
"Gue gak mungkin ngeiyain ajakan lo kalo gue udah mulai nerima dia Sean..." perempuan itu menoleh dengan kesal dan kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
"Ya, tapi kan dia tunangan lo. Masa iya lama-lama lo gak ada perasaan ama dia?"
Ketika Sean bertanya kembali, Senna sudah lebih dulu termenung memikirkan kenapa dia sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada Elang. Pria itu baik, saking baiknya Senna bukannya jatuh cinta tapi malah mengagumi sosok Elang dan mengharapkan pria itu mencari perempuan lain yang lebih baik untuk dijadikan pendamping dibanding dirinya.
Sean memperhatikan dalam diamnya. Diam-diam dia menyisiri rambut Senna yang terurai begitu saja. Perempuan itu sepertinya sedang banyak pikiran dan Sean tidak ingin terlalu banyak ikut campur. "Hm... Udah jangan dipikirin kalo gitu..."
Senna mengadahkan wajahnya menatap Sean. Menggigit bibirnya sendiri sambil memandang tidak yakin kepada pria itu, "Jahat ya, gue... Ke tunangan gue sendiri..."
"Jahat, banget..." Sean mengecup kilat bibir Senna sambil menahan kepala perempuan itu dan kemudian berkata kembali, "Tapi gimana Sen, kalo gak gitu kita gak bisa kayak gini hehe..."
Perempuan itu mendengus, mendorong halus wajah Sean dan kemudian terkekeh pelan. "Duh, gue belom siap nikah Sean. Kenapa Mama jahat banget pake ngejodohin gue segala kan gue masih pengen hidup bebas!"
"Udah, terima aja. Calon suami lo kan tajir, baik hati sama pengertian..." Sean kembali menyandarkan kepalanya diatas lipatan lengannya. Pria itu menghela nafas dengan begitu santai kemudian melirik Senna yang sudah terduduk dengan memegangi selimut begitu erat, "Tajir, Sen. Udah gak perlu cari gue lagi ntar lo..."
Senna mendengus kembali, "Tapi gue gak mau nikah yang dipaksain. Nanti kalo gue gak bahagia gimana? Coba! Coba lo bayangin jadi gue, Sean?! Elo mah enak, laki. Kalo gak suka tinggal kabur! Lah gue cewek! Mau kabur gimana coba?!"
"Ckck..." Pria itu melambaikan tangannya dengan santai, "Ya udah operasi sana jadi cowok..."
"Bangsat, ih! Gak pengertian banget jadi laki!"
...
"What the actual fck, bish..." Ares menggerutu di depan Febi yang sekarang menatap mobil Papanya. Mereka menemukan Sean sedang menurunkan Senna ke salah satu halte di dekat cafe anak kembar itu nongkrong
Anak gadis itu mencondongkan dirinya dan mengerjap kemudian melirik adiknya, "Kata Sandy, kakaknya udah tunangan tapi..."
Ares mengikuti arah pandang Febi dan menemukan Papanya mendaratkan kecupan bibir pada Senna dan kemudian melambaikan tangan lalu masuk ke dalam mobil. "Gila, bokap lo..."
"Emang ya kalo fuccboi itu gak bakalan bisa tobat. Tuh contohnya bapak-bapak. Anak udah gede masih aja suka mainin perempuan, Res!" Febi menyipit kemudian menyesap jus alpukatnya dengan kesal, "Pantesan Res, selama ini gue selalu digodain cowok gak bener. Karma itu nyata..."
Lalu mereka kembali menatap pada mobil Papa mereka yang menghilang dan tubuh Senna yang membalik. Tatapan mereka bertemu sesaat sebelum akhirnya Senna terkejut dan berdiri kaku di seberang jalan sana. Perempuan itu bahkan terdiam cukup lama mengamati Ares juga Febi yang menatapnya dari dalam cafe. Sampai tidak berapa lama Senna tampak melambai pada seseorang dan membuat Febi juga Ares saling berpandangan.
"Anjir... Gue tau ini drama banget, tapi pikiran kita sama kan, Res?"
"Heh, lu juga gila. Nanti kita lanjutin obrolan ini kakaku sayang..." komentar Ares kemudian segera menepuk-nepuk Febi agar bersikap santai karena dari ujung matanya, Sandy sedang menghampiri mereka
"Hei, kakak gue sama calon suaminya mau traktir makan kita disini..." ucap cowok itu sambil menunjukkan sepasang pria dan wanita yang baru saja masuk ke dalam cafe
Ares melirik saudara kembarnya yang hanya bisa mengangguk ketika kedua orang itu berjalan mendekat dan menyapa mereka
"Ah, shit..." gumam Febi tanpa suara ketika dia menemukan satu lagi pengunjung yang memasuki cafe dan menyapa mereka, Febi melirik ke saudara kembarnya, "Papah?"
Ares memberi isyarat dengan pandangan datarnya lalu kembali melihat interaksi tiga orang dewasa di depannya. "Ampun, jago banget itu bapak-bapak..."
Sean dan Elang saling menjabat tangan dan menanyakan kabar masing-masing. Lalu beralih pria itu menjabat tangan Senna dan menanyakan kabar Senna seolah-olah mereka belum bertemu.
"Pap, what are you doing here?" Febi menyuarakan pertanyaannya dan melihat Senna cukup terkejut dengan ap yang dia lakukan
Sean tampak santai saja dan menjawab, "Kita kan sudah shareloc sayang, Papa liat kamu nongkrong kan. Takut anak Papa yang dua ini kenapa-kenapa ya Papa jemput aja..."
Perempuan di samping Elang itu hanya bisa menghela nafas lega dan kemudian menaikkan satu alisnya menatap Febi juga Ares. "Kalian, apakabar? Mas El kenalin ini Febi sama Ares yang kemaren aku asuh, anaknya Pak Sean..."