25

14.1K 1.3K 28
                                    

"Sean..."

"Apa?"

Senna menarik nafas, menelan ludah, kembali memutar tubuhnya yang terbalut kimono dengan gusar sambil menggigiti kukunya yang tidak seberapa panjang itu.

Sean yang sedang memeriksa laporan keuangan client kantornya, menurunkan kacamata dan menatap Senna dengan kesal.

Mereka sudah selesai dua jam yang lalu dan kemudian perempuan itu bangun meninggalkannya untuk mandi, Sean menyusulnya kemudian. Mereka bergantian dan kemudian Senna mengambil waktu sendiri di balkon dan lihatlah sekarang, sejak tiga puluh menit lalu, Senna tidak berhenti berjalan mondar-mandir seperti seterika di depan ranjang mereka. Ranjang hotel lebih tepatnya.

"Masa Ares bisa tau kalo gue..."

Sean memotong dengan mengangkat telapak tangannya, "Gak heran. Terus kenapa?"

Senna melongo. Kenapa kata Sean? "Lo gak khawatir anak lo salah pergaulan?"

"Dia cowok, dan gue bersyukur kalo anak gue masih suka sama cewek..." jelas Sean tanpa mengalihkan pandangannya pada laptop di depannya

Senna? Tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena Sean memilih dengan jawaban paling demokratis yang pernah perempuan itu dengar.

"Febi berantem lagi?"

Senna mendesah dan kemudian mengambil duduk di sebelah Sean setelah merangkak menaiki kasur. "Iya..." katanya sambil menyandarkan tubuhnya, "Mamanya anak-anak lo..."

Kembali Sean memotong ucapan perempuan itu, "Dia udah nikah. Gue gak mau ganggu hubungan mereka yang udah baik-baik aja. Kasian juga Ares sama Febi kalo dititip ke orang tua kita..."

Perempuan itu tergelitik untuk bertanya. Sean juga tampaknya tidak banyak terganggu malam ini, "Terus lo jadinya mau ngurus mereka sekarang?"

"Ya... Kan gue bapaknya, gimana sih ah pake nanya lagi ini orang..."

"Tapi gue masi gak ngerti..."

Sean menolehkan kepalanya, "Bingung kenapa gue bisa punya anak?"

"Gue boleh kan, nanya kayak gitu?" Senna bertanya dengan setengah ragu

Pria itu menutup layar laptopnya dan membuka kacamatanya. Sean menyisir rambutnya setelah berhasil meletakkan laptopnya pada nakas samping ranjangnya. Dia bersandar kemudian menghela nafas. "Gue masih 15 tahun pas mereka lahir..."

"HAH?!"

Sean menoleh dengan terkekeh. Siapapun pasti akan terjekut, semua orang waktu itu juga terkejut dengan kenyataan yang Sean bawa pulang ke rumahnya.

"Gue diusir dari rumah pas umur gue 15 tahun, karena gue punya mereka..." jelas Sean santai, sangat santai seolah-olah tidak ada yang salah dari masa lalunya

"Becanda lo..."

"Sumpah. Gue sama Mamanya anak gue itu satu sekolah, yah, sempet geng-gengan gitu. Bikin gep yang akhirnya gue main sama anak yang salah..." Sean memutuskan apakah dia harus menceritakan semua ini pada Senna atau tidak, tapi dia sudah terlanjur memulai dan akhirnya kembali menghela nafas, "Ada satu anak, kakaknya dia itu kelainan. Kayak suka banget liat anak-anak... You know...?"

Senna menganggukkan wajahnya. "Se..." panggilnya dengan cukup prihatin

"Yah, gue sama Mamanya anak gue, diajarin pertama kali ngelakuin itu. At first gak ada apa-apa sih, karena mikirnya main, kan?"

Perempuan itu mengisyaratkan agar Sean melanjutkan ceritanya.

Sean menelan ludah, "Awal-awal, gue sering ganti pasangan. Tapi setelah itu cuma Mamanya anak gue aja yang menurut gue paling nyaman sampe akhirnya kita berdua pacaran dan sering ngelakuin hal itu. Mulai ngejauh dari temen kita itu karena ngerasa berdua aja udah cukup...

"Terus waktu itu tiba-tiba, gue dipanggil sama dia dan ternyata ada orang tuanya. Mamanya anak gue waktu itu keluarga cukup berada, dan gue..." Sean menjeda kalimatnya untuk menarik nafas, "Orang tua gue gak mau nerima itu dan ego anak remaja gue bilang kalo gue bisa hidup sendiri. Jadilah, Lutfi sama keluarganya yang bantu gue tapi mereka gak tau kalo masalah gue diusir itu karena gue punya anak dan keluarga Mamanya anak gue yang urus sisanya..."

"Terus anak kalian diadopsi sama orang?"

Sean menoleh, memiringkan sedikit tubuhnya menghadap Senna. "Ya, dikasih ke panti asuhan. Gue sedih, ngerasa bersalah karena gak tau kalo perbuatan gue itu bisa berakibat kayak gitu. Nyokapnya anak gue harus cuti sekolah, terus anak gue..." Sean kembali menghela nafas, "Febi sakit, dia yang paling lemah diantara mereka berdua...

"Sampe akhirnya Febi dibalikin ke Panti karena keluarga asuhnya gak sanggup buat pengobatan Febi. Mamanya nangis ke gue, waktu itu kita emang udah pisah. Gue berusaha minta ke keluarga tapi gak ada yang mau. Dan keluarga Mamanya anak gue waktu itu angkat tangan karena Mamanya mau nikah. Akhirnya gue kerja, semuanya...

Gue mau ambil Febi, tapi terus ternyata keluarga asuh Ares meninggal dunia karena kecelakaan..."

Senna menahan nafasnya karena terkejut. Dia pikir hanya hidupnya saja yang berantakan.

"I know, life is cruel right? Tapi yang bikin hidup anak-anak gue menderita kan gue... Jadi gue kerja keras dan akhirnya ngambil mereka. Berat sih, soalnya gue kan cowok single, jadi administrasinya rada gimana gitu. Cuma karena pihak panti tau mereka anak kandung gue, akhirnya dipermudah..."

"Sean gue gak tau..."

"Ya. Emang gak ada yang tau. Makanya itu anak dua suka kurang ajar sama gue, mereka udah tau kenapa mereka lahir..." Sean menghela nafas kembali, "Makanya gue gak bisa nikah sampe sekarang..."

Perempuan itu mencoba tersenyum bersamaan dengan Sean yang tersenyum kearahnya, "Pasti ada kok, nanti..."

"Gue gak bisa kalo merekanya belum bahagia, Sen. Gue ngerasa berdosa sama anak gue sendiri..."

Senna menghela nafas, "Anak lo juga nanti ada saatnya ngerti sama keadaan lo. Lo sebagai anak juga pernah ngerasain itu kan ke orang tua lo..."

"Lo pernah?" Tanya Sean kemudian membalikkan keadaan kepada perempuan itu

Senna hanya memilih menghela nafas sebagai jawaban atas pertanyaan tiba-tiba Sean. Bagaimana cara menjelaskannya kalau ternyata rasa tanggung jawabnya kepada orang tuanya malah membuat Senna terjerumus kedalam hubungan seperti ini? Pria itu tidak akan mengerti.

IFMJIYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang