"Apa?" Sean menaikkan satu alisnya ketika mereka sudah selesai melakukan kegiatan menyenangkan dan berbaring sambil menatapi langit-langit kamar.
Senna menarik selimutnya dengan santai lalu memiringkan tubuh untuk menatap laki-laki itu, "Jadi, Ares bilang bakal hapusin video kita kalo gue ke sekolah ngambilin mereka raport. Gampang banget, ya anak lo diajak nego..."
Sean mencibir. "Bego, polos banget jadi cewek..."
"Kenapa lo malah ngatain gue bego?!" Senna memberengut kemudian, "Bagus dong, cuma ngambilin raport gue udah bisa membersihkan nama baik gue..."
Sean berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo itu lagi ditipu sama Ares. Jangan suka ngobrol sama dia, ntar otak lo dicuci. Itu anak licik banget soalnya..."
"Ye... Emang kenapa sih lo anak sendiri dikatain licik mulu..." Senna menghempaskan tubuhnya dan menyentak-nyentak kecil kaki Sean dengan kakinya
"Nih, ya..." Sean sudah memiringkan tubuh dan menatap perempuan yang sungguh polos yang bisa-bisanya tertipu anak remaja 15 tahun. "Lo kalo ke sekolah mereka itu bakal ditanyain siapanya? Lo mau jawab apa? Asisten Omnya? Lutfi aja gak tau kalo mereka beneran anak gue. Taunya anak asuh aja. Jangan nambahin masalah gue..."
Senna terdiam. Bosnya tidak tahu kalau dia memiliki keponakan sudah remaja seperti itu? Bagaimana mungkin?
Sean mengibaskan tangannya. "Jangan lo kebanyakan gaul sama dua anak itu. Mending gaulin Papanya kan enak..."
Perempuan itu mendorong kening Sean dengan telunjuknya. "Ih, ini orang. Gue bisa pingsan ladenin lo terus-terusan. Tambah biaya lembur pokoknya!"
Sementara Sean yang sudah sibuk mengecap kulit tubuh Senna hanya berdehem ria untuk membalas ucapan perempuan itu. "Aduh, enak banget, enak banget..."
"Apaan sih?!" Bentak Senna yang sudah berada di bawah tubuh Sean, "Aduh! Aduh! Sean sakit tau!"
Sean beralih ke leher perempuan itu yang selalu menjadi tempat favoritnya untuk memberikan tanda. Tapi baru saja dia mendekatkan wajahnya, Senna sudah terlebih dulu mendorong wajahnya.
"Gue udah malu dua kali ya lo bikin-bikin di situ. Cari tempat laen!" Omel Senna dengan kesal
Mendengus dengan kesal, Sean akhirnya memilih payudara perempuan dibawahnya. "Disini aja, disini aja. Kalo yang ini gak bakal dibukain ke orang-orang kan, Sen?"
Senna melotot dengan kesal. "Iya kali dah Seaaaaaaannnn!"
...
"Kak, kakak udah tau kalo kita mau pindah rumah, kan?"
Adik Senna sudah sejak satu jam yang lalu berada di teras kos-kosan kakaknya. Alasannya sederhana, mengabarkan kepindahan rumah dan memberikan informasi mengenai penjualan rumah orang tua mereka.
Berdasarkan penjelasan sederhana yang Senna dapatkan dari Sandy. Uang hasil penjualan rumah keluarga itu dibagi rata bersama semua keluarga Papanya. Senna sudah menduga, semua saudara Papanya pasti akan meminta hak mereka, walaupun kalau boleh berhitung, mereka tidak menyumbang apa-apa selama rumah itu masih menjadi milik mereka.
"Tenang aja, Papa sama Mama beli rumah kecil-kecil dan sisa uangnya udah di deposit. Jadi tiap bulan kita masih ada cukup buat semuanya..." Sandy melirik kakaknya sedikit, "Mama khawatir sama kakak..."
"Iya..." Senna merengut dengan sedikit sedih, dia tidak tahu bagaimana harus pulang semenjak memutuskan untuk menjual kegadisannya itu.
Mama Senna adalah perempuan yang menarik. Beliau bisa dengan sangat mudah menilai orang hanya dengan membaca nama lengkap atau melihat sekilas orang tersebut. Dulu Senna tidak percaya. Tapi setelah mengalami langsung dan melihat betapa kecewanya Mamanya ketika Senna sudah tidak jujur soal hartanya sebagai perempuan, mereka memilih untuk tidak bicara satu sama lain.
"Kakak cuma takut pulang kalo belom jadi pegawai..." kata Senna sambil mencoba tersenyum kepada adiknya
Sandy menghela nafas. "Papa bilang mau ada syukuran pindah rumah. Dateng, kak. Sekali-sekali pulang..."
Sekali lagi Senna memberikan senyum palsunya. "Iya. Kakak kasih sangu sedikit ya?"
Anak laki-laki itu tidak menolak ketika Senna memberikan tiga lembaran seratus ribu kepada dirinya. Sandy hanya bisa berdehem untuk mengusir kecanggungan diantara mereka berdua. "Maafin Sandy belom bisa bantu cari duit, bisanya ngabisin doang..."
Perempuan itu mendengus, "Cepetan selesai sekolah kalo gitu..."