Lutfi hari ini mengajak Senna untuk ikut persidangan kasus sederhana mengenai pencemaran nama baik oleh sebuah perusahaan yang menuntut kepada salah satu public figure yang merupakan mantan BA-nya.
Sepanjang persidangan, Senna mencatat hal-hal yang sekiranya dibutuhkan Lutfi untuk menangani kasus tersebut. Lima jam setelahnya, mereka sudah sibuk berkutat dengan ramainya jalanan dan secangkir kopi.
"Bulan ini jatuh tempo bayar sewa, ck. Kenapa belom pada nyetor, yak?"
"Kenapa, pak?"
Lutfi mengibaskan tangannya dengan pelan lalu kembali berpikir sambil menyangga dagunya, "Senna, ingetin saya nanti ke lantai atas. Atau sekalian kamu bikinin saya janji sama Pak Antar nanti sore..."
Senna menganggukkan kepalanya. Setelah itu mencoba membuka ponsel dan mencari kontak sekertaris dari pria yang dimaksud Lutfi.
"Senna, denger-denger, masa training kamu sudah mau habis..."
Senna menatap atasannya dengan sumringah, "Iya, Pak. Akhirnya ya, Pak. Habis ini saya ganti nametag..."
"Yeeeey, habis ini gajinya full ya. Traktir sayalah, makan apa kek gitu..." canda Lutfi.
Mau tidak mau Senna akhirnya menganggukkan kepalanya. "Bakso depan pos satpam aja ya, Pak. Dua tusuk..."
"Jahat, kamu..." kembali Lutfi sibuk dengan pikirannya sendiri. "Tunggu bentar lagi, ya? Gak apa-apa, kan? Saya ada janji sebentar ini. Mau kasih ini aja..."
Senna hanya tersenyum mendengar ucapan Lutfi. Pria itu tadi memintanya membelikan sekotak baby j.co dan red velvet juga ayam hainan. Mungkin Lutfi juga memiliki anak seperti Sean? Entahlah. Tapi Senna merasa tidak terganggu karena akhirnya dia bisa keluar dari kantor walaupun hanya sebentar.
"Papa Lut!!!!!"
Lutfi dan Senna menoleh ke sumber suara. Ares dan Febi yang sepertinya baru saja pulang sekolah berjalan ke arah mereka dengan riang dan langsung mengambil posisi duduk di samping Lutfi.
"Heh! Jangan manggil Papa, dong. Nanti gak laku, nih. Eyang uyut bisa nangis kalo Om gak kawin-kawin..." omel Lutfi sambil menggertak kecil dua anak remaja itu
Febi bergelayut manja pada Lutfi, walaupun tatapannya seolah bertanya mengapa ada Senna di sana.
Ares dengan santainya melirik Senna dan berkata, "Pacar baru, Om? Wah, gak nyangka..."
Lutfi berdecak membalas ucapan keponakannya, "Ini asisten, Om... Sembarangan aja sih, kamu kebanyakan main sama Papa kamu nih makanya suka nyeplak aja kalo ngomong..."
Kedua anak remaja itu saling memberi tatapan aneh dan kemudian sibuk merebut perhatian Lutfi.
"Om, tau gak sih?"
Senna sudah menelan ludah takut mendengar ucapan Febi yang sesekali meliriknya dengan tatapan aneh. Jangan sampai, Lutfi mengetahui dirinya dan Sean memiliki hubungan aneh seperti itu. Senna masih butuh uang!
Febi melepaskan rangkulan tangannya dan menjelaskan dengan singkat. "Papa mau ulang taun, trus kita bingung mau kasi apa. Om mau modalin, gak?"
"Wenak, cah..." Lutfi menyentil kening keponakannya yang cantik itu lalu bicara kembali, "Ngapain Om modalin kalian yang lebih tajir dari Om? Yang ada itu kalian harus undang Om buat makan enak..."
"Hm. Kita ke Singapur aja apa, Om?" Ares bertanya dengan antusias. "Soalnya kita bingung juga, Om. Secara kan Papa gak tua, muda enggak..."
"Kasih adek baru aja..." celetuk Lutfi asal
"Uhuk..."
Semua mata beralih memandang Senna yang sibuk terbatuk. Perempuan itu menepuk-nepuk dadanya dan menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Lutfi apakah dia baik-baik saja apa tidak. "Gak apa-apa, saya emang suka keselek kok, Pak..."
Ares menaikkan satu alisnya, "Adek? We don't need, that. Papah itu doyang cewek, kasi cewek aja apa, Om?"
Senna melotot bergantian ke arah Febi dan Ares. Oh, gila saja dua anak Sean ini. Mereka bisa membuat Senna kehilangan mata pencahrian kalau sampai Sean menemukan gadis baru untuk diajak membuat hubungan khusus seperti dirinya.
Lutfi mendengus, memukul kepala keponakannya dengan pelan. "Nanti Om tanya dulu sama Eyang Uyut enaknya kasih apa. Kalian pulang sana. Bawa itu hadiahnya..."
Kedua anak itu sepertinya sangat penurut. Begitu Lutfi menyuruh mereka pulang, Ares dan Febi segera berpamitan lalu berlalu meninggalkan mereka dengan saling mengejek satu sama lain.
"Lucu, ya?" Lutfi bertanya kepada Senna sambil tersenyum, "Keponakan saya, itu. Mereka kalo ngomong emang suka gitu. Tapi mereka anak manis kok..."
"Oh, iya. Bapak kayaknya sayang banget sama mereka. Pasti mereka manis sih..." Senna sebenarnya tidak setuju sama sekali dengan ucapannya tapi dia hanya bisa berbohong untuk saat ini
Lutfi mengedikkan bahunya, "Bapaknya itu udah kayak adik kandung saya sendiri. Wajar kalo saya sayang anaknya. Jadi pengen punya anak, Sen..."
"Huh?" Senna terbengong melihat atasannya
"Biar kalo saya ulang taun ada yang kasih kejutan, gitu..." jelas Lutfi dengan sedikit mendramatisir nada bicaranya
Senna melongo. "Ya nikahlah, Pak... Masa anaknya cicilan duluan trus nikahnya premature..."
"Wah..." Lutfi jadi melongo sendiri mendengar ucapan Senna. "Wah, kayak nenek saya aja kamu nyuruh kawin..."