11

20K 1.5K 37
                                    

Ketika Sean melirik jam di ponselnya yang masih menunjukkan tengah malam, Senna sudah bergelung manja di sisi lain tempat tidur dengan punggung yang sudah penuh dengan hasil perbuatannya.

Dia memilih keluar dari selimut, mencari celananya dan meraih ponselnya lalu berjalan menuju ruang tengah apartementnya.

Tidak banyak yang Sean lakukan selain membuka pesan-pesan yang sedari tadi menganggu kegiatannya dengan Senna. Bukannya tidak tahu kalau ada panggilan masuk, tapi Sean sangat menyukai bagaimana Senna menjadi liar diatas tempat tidur bersama dirinya. Dan itu membuatnya lupa.

Tidak ada perempuan yang begitu menyeimbangi permainan dirinya selain Senna. Setidaknya, selama ini begitulah yang Sean rasakan.

"Kenapa..." Sean menyapa terlebih dahulu kepada penelpon yang bicara kepadanya. "Pelan-pelan ngomongnya..."

"Gimana bisa pelan-pelan, Sean? Kamu mau anak kamu mati?" Nada marah perempuan di seberang sana membuat amarah Sean hampir saja terpancing

"Dimana?" Sean menghela nafas. Menahan rasa khawatirnya yang memuncak ketika mendengar isak tangis perempuan yang menelfonnya tengah malam begini.

"Rumah sakit. Baru aja dapet kamar, dia kangen kamu..."

Pria itu terdiam sejenak. Berpikir beberapa detik kemudian mengambil langkah kembali masuk ke dalam kamarnya, "Aku ke sana... Kirimin alamatnya..."

...

Senna tidak mengerti dengan Sean yang beberapa hari ini menjadi tidak lebih semangat. Pria itu bahkan tidak banyak bicara kepada dirinya akhir-akhir ini. Hanya meminta jatah setelah itu menghilang di pagi hari. Senna tidak ingin bertanya lebih jauh ada masalah apa dengan pria itu selama dia mendapatkan apa yang dia butuhkan.

Ketika akhir minggu pria itu pulang dengan tampang yang tidak mengenakkan, Senna memutuskan mengambil langkah mendekat dan mendekap Sean.

"Udah makan, Se?" Tanya Senna memapah pria yang sepertinya kurang tidur itu

"Hm..." Sean menjatuhkan dirinya di atas sofa dan menelungkup dengan kaki menjuntai karena sofanya yang tidak seberapa lebar, "Hari ini, lo..."

Senna masih berdiri, melipat tangannya menunggu ucapan menggantung Sean

"Lo boleh balik. Gue masih ada urusan sendirian..."

"Oh..." Senna menganggukkan kepalanya. Lumayan juga dia tidak harus melakukan berbagai gaya melelahkan tapi nikmat bersama Sean beberapa hari ini. Ditambah dengan uang yang utuh dan malah bertambah. "Okay, Se. Gue balik kalo gitu..."

"Hm..."

Senna melangkahkan keluar kakinya dari kediaman pria yang sama sekali tidak mengantarkannya kembali.

...

Sandy menunggu di depan teras kosnya. Anak muda itu terlihat sangat lelah dan bosan.

Senna menyapa adiknya dengan hangat walaupun tahu adiknya adalah tipe cool berhati hello kitty

"Papa sama Mama mau pindah rumah..." Sandy tidak duduk kembali ketika mengatakan apa yang menjadi tujuannya datang. Bahkan cowok itu menatap kakaknya sangat datar

"Udah ada yang mau beli?" Senna mengambil kursi di sebelah adiknya dengan sangat tenang. Mungkin memang sudah saatnya orang tuanya pindah dari hiruk pikuk kota metropolitan dan beralih ke desa. Mungkin suasanya desa cocok dengan ke dua orang tuanya yang sudah mulai masa penyembuhan.

Sandy memilih menghela nafas dengan berat sebelum mengeluarkan suara seraknya. "Ada, tawar tapi. Yah, gimana kan rumah tua, kak. Tapi kalo kakak oke, Papa mau jual..."

Senna menganggukkan kepalanya, "Kakak oke aja. Terus uangnya mau dipake apa sama Mama Papa?"

Adiknya terlihat berpikir sebentar. Mungkin bukan keputusan mudah untuk menggunakan uang hasil penjualan rumah turun-temurun keluarga Papanya itu. Tapi mau bagaimanapun juga, Senna tetap ingin menjualnya. Selain untuk mengurangi beban perawatan rumah, orang tuanya pasti membutuhkan uang untuk membuka usaha lainnya demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Perempuan itu mengambil dompetnya, mengeluarkan lima ratus ribu yang kemudian dia berikan kepada Sandy. "Kakak lupa, sangu kamu ya buat minggu ini. Dicukupin, San..."

Sandy menaikkan satu alisnya, "Kak..."

"Ya?" Senna tersenyum sedikit, pasti adiknya akan menanyakan hal ini kepadanya

"Dapat uang dari mana sih? Bukannya kakak baru kerja?"

Senna mengulum bibirnya, "Kerja tambahan... Jangan bilang Papa sama Mama, ya?"

Sandy mengambil uang pemberian kakaknya dengan diam. Memilih memasukkan lembaran uang itu ke dalam dompetnya. Bukan keinginannya juga menjadi beban kakak perempuannya ini. Hanya saja, Senna sendiri yang tidak ingin Sandy mengalihkan pikirannya dari sekolah yang merupakan kewajiban Sandy.

"Nah, mau buka rekening?"

"Gak..." Sandy berdiri dari duduknya, "Kenapa feeling Sandy gak enak soal kerja tambahan kakak?"

Senna memilih tidak menjawab

"Ya, udah" Sandy menghela nafas dengan berat. Sadar itu semua bukan urusannya, anak cowok itu memilih berpamit, "Kalo gitu, Sandy pulang..."

IFMJIYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang