22. Ribut

1.6K 187 4
                                    

Suasana kali ini benar-benar mencekam sampai aku tak bisa angkat kepalaku. Menatap karpet rumah yang berada di ruangan ini, duduk lesehan di hadapan kedua orang tuaku. Mas Irvan duduk di sampingku, jaga-jaga jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi.

"Ghania, liat ayah."

Perlahan, aku menuruti kata-katanya. Aku beranikan diri untuk mendongakkan kepalaku, menatap ayah yang ada di hadapanku.

"Kamu pacaran sama ponakannya Mr.Han?"

Satu hal yang bisa aku lakukan sekarang adalah bicara dengan berterus terang padanya. Aku menarik nafas, mengumpulkan mental untuk menjawab pertanyaan Ayah.

"Beneran?" Ayah melanjutkan, seakan menggaris bawahi pertanyaan sebelumnya.

"Iya, bener." Ucapku.

Walau tidak begitu lantang, aku masih punya tenaga untuk menjawab pertanyaannya. Setidaknya aku jujur dan tak menutupi apapun, aku ingin seperti itu. Memperbaiki setiap dosaku yang sudah aku lakukan selama ini.

"Kok bisa?" Tanyanya kemudian, sedikit meninggikan suaranya. "Ayah gak ngerti sama kamu, Ghania." Lanjutnya.

Ayah mengurut dahinya. "Itu dosen kamu sendiri juga. Apa yang sebenernya ada di dalam pikiranmu itu?"

Aku hanya bisa berdoa agar nafsu amarahku bisa ditahan. Melihat ibu yang tak bisa berkata apapun, ditambah Mas Irvan yang diam disana.

"Kamu itu ayah izinin ke Seoul buat kuliah. Bukan buat pacaran! Apalagi sama dosen kamu sendiri!"

Nada bicara ayah terus melambung. Sejujurnya aku tak tahan mendengarnya, tapi aku tak bisa lari kenyataan yang harus dihadapi saat ini.

"Kamu tau itu berbahaya, Ghania! Sadar gak kamu itu satu rumah sama pacarmu sendiri!"

"Iya yah, aku sadar!"

"Kalo sadar terus kenapa kamu malah lanjutin hubungan itu?! Kamu baru kenal sama dia, Ghan! Gaada yang tau hati manusia itu gimana!!"

Aku menarik nafas. "Yoongi gak akan ngelakuin hal-hal buruk ke aku, yah. Dia gak kayak gitu!"

"Gak usah bantah omongan ayah! Seharusnya dari awal kamu emang tinggal di apartemen yang udah disediain universitas kamu aja." Ucapnya.

"Dan juga, ayah gak kenal dia, jadi gak usah belain dia." Lanjutnya.

Loh? "Ayah gak kenal dia, kenapa ayah nyuruh aku buat tinggal sama dia??" Ucapku, menahan amarah juga.

"Itu demi kamu juga! Kamu harusnya tau aturan dan dia juga harusnya tau diri! Emangnya tujuan awal kamu tinggal disitu apa? Biar deket sama kampus kan? biar kamu gampang juga kuliahnya!"

Disitu aku sudah menahan air mataku. Aku tahu aku tak berhak menangis atas kesalahanku sendiri, tapi mendengar ayahku sendiri yang bicara seperti itu membuat hatiku sakit.

"Tapi yang kamu lakukan apa? Buat ayah sama ibu kecewa kan? Gak apa-apa ayah bayarin buat ongkos kamu walau lebih mahal. Ayah kerja buat kamu kuliah yang bener, bukannya malah pacaran. Jangan mentang-mentang kamu dapet beasiswa jadi seenaknya!!"

Ayah beranjak dari duduknya. "Besok ayah ke Seoul ngurusin barang-barang kamu dan pindah ke apartemen yang baru."

Ia beranjak pergi. Setelah itu, baru tangisku pecah. Batinku sangat perih rasanya mendengar semua perkataan ayah yang barusan. Aku tak sempat meminta maaf padanya, aku sudah melakukan hal yang salah.

Ibu langsung mendekatiku dan memelukku erat, begitu juga Mas Irvan yang mengelap air mataku disana. Aku tak mau berkata apapun, berada dalam pelukan ibuku pasti sudah membuat ibu mengerti apa yang aku rasakan.

Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk saat ini..

🎡

Mulai hari itu, aku lebih sering mengurung diri di kamar. Menyibukkan diriku sendiri dengan hal yang membuatku lupa dengan dunia luar. Mungkin aku akan menangis saat tengah malam tiba karena hal ini membuatku sangat terkejut. Mungkin juga aku menolak sarapan, atau makan siang, atau juga makan malam. Mungkin aku menolak untuk bicara pada siapapun juga.

Yoongi.. Pria itu..

Notifikasi ponselku meledak setelah aku menyalakan data internetku. Ada sekitar 50 panggilan tak terjawab dan 89 pesan singkat yang ia kirimkan lewat kakaotalk dan line.

Aku ingin membukanya. Aku ingin bicara padanya. Setidaknya aku ingin katakan bahwa aku minta maaf padanya. Ia mungkin sangat kebingungan dan kehilangan arah. Mungkin….

Tapi aku malah berujung menonaktifkan ponselku dan membiarkannya mati begitu saja. Aku merasa aku sudah gila, aku tak ingin bicara dengan siapapun sekarang juga.

"Ghania?"

Aku sedikit menoleh ke arah pintu kamarku yang sengaja aku kunci. Itu suara ibuku.

"Makan dulu nak, ini ibu bawain makanannya."

Aku langsung bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu kamar. Memutar logam kunci itu dan membuka pintunya. Ibu mengembangkan senyum padaku, lalu masuk ke kamar dengan membawa nampan yang berisi semangkuk oatmeal dan segelas air putih. Ia lalu meletakannya di meja belajarku.

Ibu berjalan ke arahku dan berdiri di hadapanku. Tangannya mulai merapihkan rambutku yang agak berantakan. Aku hanya bisa bungkam melihatnya, tak tahu harus melakukan apa.

"Jangan sampai enggak dimakan ya. Jangan sampai sakit."

Aku masih menutup mulut.

"Ibu tau dari Tante Han. Beliau ngeyakinin ibu kalau keponakannya gak akan ngerusak anak gadis ibu. Ibu percaya sama kamu, nak. Seharusnya kamu bilang dari awal."

"Ujung-ujungnya semua salah aku kan, Bu?" Tanyaku.

Nada bicaraku melemah, tapi terdengar bergetar. Rasa bersalah ini menyelimuti benakku sehingga sulit untuk mengungkapkan isi hati.

"Jatuh cinta itu wajar, nak. Ibu ngerti mereka datang gak kenal waktu. Ibu juga gak nyalahin kamu. Ibu bolehin kamu buat punya hubungan spesial sama seseorang karena mungkin emang kamu udah masuk waktunya. Tapi ayahmu punya pandangan lain."

Lagi-lagi aku. Semua keputusan berada di tangan ayah, dan aku hanya akan terlihat menjadi orang yang bersalah di sini. Bahkan tak ada gunanya jika Ibu mencoba untuk bicara padanya. Ayah tidak akan mengelak keputusannya sendiri dan aku akan tetap menjadi kriminal di rumah ini.

"Kalau begitu gak ada bedanya, bu." ucapku.

Ibuku menghela nafas dan memelukku erat. Mengelus rambutku selembut mungkin dan membuatnya senyaman mungkin.

"Apapun yang orang tua bilang untuk kamu, itu pasti berguna buat kamu."

Apa yang ibu katakan benar. Seiring ibu pergi dari kamar, aku menatap semangkuk oatmeal itu dan mencoba memakannya tanpa semangat.

Aku yakin kita akan selalu berada di satu cerita yang sama, meski aku tak disana dan kau tidak disini.
🎡🎡🎡

My WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang