39. Karma

1.3K 145 5
                                    

Sudah menjadi hal klise ketika kalian membaca sebuah cerita dimana tokoh perempuannya 'dipasangkan' dengan seorang pria karena orang tua mereka saling kenal. Memuakkan. Aku tahu persis karena aku mengalaminya.

Aku dan Lian mungkin jadi tambah dekat setelah adanya pembicaraan mengenai hal itu. Ia mungkin bisa membaca gerak-gerik tubuhku karena ia mengerti bahwa sejujurnya aku tidak ingin menurut kepada orang tuaku.

Bagus. Pertama Lian, kedua Taehyung, ketiga Yoongi, keempat kembali ke Lian. Apa ini yang disebut jodoh? Aku selalu kembali pada yang benar-benar diharuskan untukku? Ataukah memang orang tuaku yang memaksa agar aku ini jodohnya Lian? Tidak tahu.

Dan keadaan ini membawaku sangat jauh dari Yoongi. Mengetahui bahwa pria itu masih berada dalam benak dan pikiranku selama beberapa tahun terakhir membuatku terkagum-kagum pada diriku sendiri. Aku mendapat juara nomor satu yang paling tidak bisa move on se-Indonesia.

"Ghania."

Suara rendah itu menyadarkanku dari lamunan sore ini. Itu suara Lian, ia mengantarku ke bandara Soekarno-Hatta malam ini untuk berangkat ke Seoul.

"Iya kak." Jawabku lesu.

Lian berdeham, "Lo pasti tau kan orang tua kita.."

"Iya, tahu." Aku mengangguk.

"Maaf, tapi gue gak bisa ngapa-ngapain," Katanya.

"Jalan kita masih lama, Ghan. Kita enggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Manusia itu cuma merencanakan, Tuhan yang menentukan." Lanjutnya.

Ya, itu benar. Tapi entah mengapa aku cukup yakin keinginan orang tuaku akan terwujud, mengingat aku melawan orang tua kemarin. Mungkin ini akan jadi balasan perbuatanku di dunia.

. . .

Aku menaikkan bahuku menandakan bahwa aku tak tahu lagi bagaimana caranya untuk menanggapi hal ini. Terdengar helaan nafas Lian yang begitu penuh dengan nada kegelisahan.

"Pasrah gue kak, berserah diri aja." Ujarku.

Lian menatapku dengan tatapan berserah, "Lo punya seseorang dalam hati lo ya?" Tanyanya.

Mendengar itu, Yoongi terbesit dalam pikiranku. Aku melempar pandanganku kepada pria dua puluh enam tahun yang duduk jauh dariku di bandara ini. Berpenampilan tertutup lengkap dengan topi, masker dan coat berwarna hitamnya. Terdapat earphone yang terpasang di telinganya dan aku pikir dia tertidur sendirian di sana sekarang.

Aku tersenyum, "Iya." Ujarku.

"Dia.. Entahlah. Jarang ngomong, kadang rese, tapi herannya selalu bikin gue suka. Dan orang tua gue gak suka sama dia.. Gue gak bisa sama dia." Lanjutku dengan nada gundah.

Aku termenung melihat Yoongi yang tidur di salah satu bangku di sana. Menatapnya dengan tatapan yang kosong.

"Anehnya saking gue gak bisa ngatur perasaan gue sendiri, malah jadi orang tua gue yang ngatur diri gue…"

"Bahkan ketika orang tua mencoba untuk menjauhkan lo dari rasa sakit itu, tanpa disadari mereka yang niatnya pengen ngebahagiain lo, malah jadi tambah terluka." Kata Lian. 

Aku alihkan pandangan ke arah Lian yang tengah memperhatikanku. Entah mengapa rasanya menusuk sekali, mengingat aku pernah menyukainya terlalu dalam, selalu menatapnya dari kejauhan dan sekarang dunia seakan terbalik.

"Dan gue tahu, hukum karma itu beneran ada." Ucapnya.

"Karma?" Aku menaikkan salah satu alisku. Ia mengangguk pelan.

"Ya. Contohnya gini. Sekarang gue ngerti gimana rasanya jadi lo pas SMP dulu."

Aku tercengang saat mendengar kalimat Lian. "Maksudnya?"

Lian menarik nafas dan mengeluarkannya. "Gue tau kok, Ghan. Dulu lo itu pernah nyimpen perasaan kan sama gue?" Kata Lian lesu.

Aku bungkam untuk sesaat, "Y-ya… Itu dulu kak." Ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Sementara gue bego ngelukain lo." Lanjut Lian.

Ahh, tolong jangan seperti ini.. Aku jadi merasa bersalah.

"Dan gue sadar ternyata ini yang dirasa sama lo dulu. Gue ngerti, maafin gue Ghan." Kata Lian.

"Enggakㅡ"

"Jatohnya jadi gue yang egois kan? Sekarang gue yang suka sama lo, gue juga yang ngerebut kebahagiaan lo supaya jadi kebahagiaan gue." Lanjutnya.

Aku terdiam mendengar kalimatnya, "Udah kak, lagipula gue ga ada hubungan apapun sama dia." Ujarku santai mencairkan suasana.

"Gue emang pernah suka sama lo. Hati manusia gak ada yang tau, apalagi gue aja gatau hati gue sendiri gimana. Biarkan mengalir aja, nanti kita ikutin arusnya bakal kayak gimana." Lanjutku.

Lian tersenyum padaku. Keadaannya sudah melemah, tidak ada emosi yang terikat di dalamnya.

"Ghania! Kita harus masuk kabin!" Mia berteriak.

Aku berpaling sesaat. "Dah ya kak, gue berangkat. Titip salam sama ortu lo." Ucapku

"Hati-hati ya, Ghan."

"Iya. Bye."

Ketika aku meninggalkan Lian di sana, pikiranku kembali berputar untuk sesaat. Aku terlalu pusing memikirkan masa depan yang sudah direncanakan oleh orang tua sendiri tanpa kompromi dariku. Dan yang membuatku merasa bodoh adalah aku tidak berani melawan. Yah, berani melawan artinya aku harus memilih tali tambang yang bagus untuk gantung diri.

Hidup itu seperti mengarungi sungai. Kadang bertemu dengan arus kencang, kadang berada dalam arus yang tenang. Sewaktu-waktu kita hanya bisa mengikuti ke mana arah alirannya, sewaktu-waktu juga kita harus memilih mana jalur yang paling tepat dan bagus.

🎡🎡🎡

Happy sunday!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy sunday!

My WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang