44. Berharap

1.3K 132 3
                                    

Empat tahun -atau lebih tepatnya tiga tahun setengah kuliah intensif- terlewati begitu saja. Aku terkadang tak percaya bahwa seseorang seperti akj sanggup sekolah di sini, bertemu dengan banyak orang yang memberi pembelajaran hidup.

"Ghania? Kau sudah siap?"

Suara itu milik Taehyung. Ia berdiri di pintu apartemenku, "Sudah, sunbae. Kenapa?" Sahutku saat melihatnya di sana.

"Ayo aku antar." Katanya.

Aku tertawa kecil, "Aku bisa naik motormu! Ini hari terakhir aku menggunakannya bukan?" Ujarku.

Taehyung mendesis, "Kau ini bagaimana? Hari ini adalah hari spesialmu." Ucapnya.

Taehyung mengisyaratkan aku untuk duduk di sofa. Ia membawakan sepatu heels yang sempat ditenteng dan berlutut di hadapanku.

"Hari ini ibarat hari pernikahanmu, masa iya seorang pengantin datang ke tempat pernikahannya menggunakan motor?" Ucapnya.

Aku tertawa kecil, "Sunbae, aku hanya lulus dari universitas, bukan menikah." Kataku.

Taehyung mengembangkan senyuman khasnya. Ia memegang sepatu heels itu dan memakaikannya padaku. Sesekali ia hapus debu-debu yang terdapat pada sepatu itu sehingga membuatnya bagus kembali.

"Kan ibaratnya. Ayo berangkat."

🎡

Hari ini aku wisuda tanpa ditemani ayah, ibu, juga Mas Irvan. Menyedihkan memang. Aku mengerti kenapa mereka tak bisa menemaniku. Karena Taehyung hanya sempat mengantarku ke kampus, hanya Hyoah dan Jimin yang menemani hari kelulusanku.

"Aduh anjir laper." Gumamku.

Jimin mendesis, "Lagi tadi sarapan kaga?" Tanyanya. Aku menggeleng.

"Nih, gue ada sandwich." Hyoah menyodorkan satu sandwich dari tas nya. Aku tersenyum haru dan menerimanya dengan senang hati.

Pagi ini, setelah berfoto di depan fakultas kesenian, aku duduk di taman dengan mereka sebelum acara wisuda di mulai di aula setengah jam lagi.

"Gue kira Lian kesini njir." ucap Hyoah.

"Lian siapa?" Tanya Jimin.

"Itu, kakelnya Ghania pas SMP." Jawabnya.

Aku menggeleng, "Nggak, dia gak bisa ambil cuti. Sama kayak Mas Irvan dan ayah." Jelasku.

"Iyasih ya. Awal tahun gini pasti kerjaannya banyak." Hyoah mengangguk mengerti.

"Lah terus kalo Lian itu kakelnya Ghania, ngapain dateng ke wisudaannya Ghania? Ada hubungannya?"

Hyoah mendelik ke arah Jimin, "Kamu kudet banget sih, Jim?" Ucapnya.

"Iya, kudet, emang kenapa sih? Gak ngerti apa-apaan nih." Jimin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Itu kan, ayahnya Ghania mau ancang-ancang nikahin dia sama Ghania." Kata Hyoah.

Jimin terkejut, "Lah, yang bener Ghan?!" Tanyanya.

Aku mengangguk dan cukup berterima kasih pada Hyoah yang berbaik hati menjelaskannya pada Jimin disaat aku tak ingin membicarakannya.

"Gatau juga sih, liat nanti aja." Kataku santai.

"Iya lah, Ghan. Gue rasa juga ya…"

Hyoah mulai berbisik, "Si Yoongi masih ngarepin lo." Katanya.

Yang itu, aku tidak terkejut lagi. Bukan hanya dia, aku juga masih berharap padanya. Mengharapkan celah kecil untuk kembali dan memberesi semua ini. Meskipun dibilang aku akan belajar menerima Lian, aku tak tahu mengapa Yoongi masih betah berada dalam list nomor 1 yang paling tak bisa di lupakan.

"Perasaan lo udah pernah bilang deh." Jawabku. Hyoah hanya menunjukkan wajah 'Emang iya?'

"Lah terus gimana? Lo masa mau nikah sama si Lian itu tapi lo masih ngarep sama Yoongi? Kasian suami lo dong nanti." Tutur Jimin.

"Gak tahu, tapi.." Ucapanku terhenti sesaat, "Hati manusia gak ada yang tahu." Lanjutku.

Apakah sudah terlambat? Akankah ada kesempatan lagi bagi kita?
-What Do I Do, Jisun-
🎡🎡🎡

My WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang