21. Kenyataan

1.7K 186 4
                                    

"Ghania.. Ghania?! Hey!!"

Aku menoleh ke arah Yoongi setelah aku melepas sepatuku. Ia berdiri mematung di pintu apartemennya.

Aku tak bisa melihat wajahnya, aku takut melihatnya. Aku takut jika aku takkan bisa bertemu dengannya lagi karena hubungan kami terbongkar sampai ke orang tua kami.

"Ada apa?"

Aku tak tahu harus marah atau sedih. Yoongi mendekatiku dan ia memelukku erat. Rasanya aku bisa mendengarkan detak jantungnya yang berdetak begitu cepat.

"Kau ingin pulang esok? Kenapa begitu cepat?"

"Orang tuaku mengetahui hubungan kita, Yoongi. Ayahku bilang aku harus pindah ke apartemen yang disediakan universitas, jauh dari sini."

Mendengarnya, mungkin Yoongi terkejut. Ia memelukku bahkan lebih erat lagi seakan menggambarkan ketidakpercayaannya. Mungkin ia juga bertanya-tanya mengapa semua ini bisa terjadi.

"Aku akan bicara pada ayahmu."

Orang ini sudah gila. Aku tidak mengerti dengannya. Mengapa ia memiliki pikiran senekat itu? Apa ia berani bicara pada ayahku yang seperti itu?!

"K-kau?"

"Iya. Aku ikut denganmu, mengantarmu pulang dan bicara pada ayahmu baik-baik."

"Kau cari mati namanya! Tidak!"

"Kenapa?!"

Aku melepas pelukannya. "Biar aku yang pulang, kau disini. Tak perlu bicara pada ayahku."

"Tapiㅡ"

"Turuti aku, tolong."

Suaraku bergetar melihat tatapan matanya. "Aku tidak bisa melawan orang tuaku. Apalagi kau." Lanjutku.

Aku meninggalkannya dan masuk ke kamarku. Menggeret koper dan mulai memberesi barang-barang yang sekiranya bisa aku bawa pulang. Melihat ponselku bergetar, nama Hyoah muncul di layar ponselku. Aku menjawab panggilannya.

'Ghania? Ghan, please gue....'

"Gak apa-apa kak."

'Gue minta maaf banget.. Astaga.. Kenapa bisa begini.. Ini semua salah gue..'

"Gak ada kenapa bisa begini kakㅡ" Ucapanku terhenti sebentar karena berusaha memasukkan baju ke dalam koperku.

"Apapun bisa terjadi. Ini resiko gue." lanjutku.

'Ghania, gue udah bilang ke bokap nyokap gue soal lo dan Yoongi dan mereka udah berusaha buat negosiasi sama orang tua lo.'

"Maaf aja, kak. Gak mungkin bisa. Ayah gue kalau buat keputusan, pasti udah bulat. Dia bilang bakal ngurus apartemen baru sama bokap lo."

'Y-yah.. Berarti....'

"Gagal. Negosiasi yang lo maksud itu gagal. Lo gak salah, kak. Gue yang salah. Ayah marah besar sama gue. Sekarang gue pengen beberes, bye."

Aku memutuskan kembali hubungan telefon itu dan memberesi setiap barang yang aku perlukan untuk pulang ke Jakarta.

Aku seperti orang yang kehilangan akalku sendiri. Menyalahkan diriku sendiri, mengapa semua ini bisa terjadi? Kenapa aku bisa seperti ini?

Apa yang aku khawatirkan memang benar-benar terjadi. Orang tuaku kecewa, aku juga tidak bisa memegang kepercayaan mereka. Sekarang jika hubunganku dan Yoongi kandas, maka harusnya aku menerima hal itu dengan lapang dada.

Tapi bagaimana aku bisa menerima semua ini...?

🎡

Keesokannya aku sudah mempersiapkan segala hal untuk pulang ke Jakarta. Mas Irvan bilang dia akan menjemputku di bandara. Aku pergi ke Incheon sendirian, aku tak mau berat hati meninggalkan Seoul dan melihat wajah Yoongi. Jadi aku berangkat tanpa bertemu dan mengatakan apapun padanya, bahkan aku tak bisa bilang 'maaf' padanya.

Ini tak adil. Rasanya dunia tidak memperbolehkan aku untuk merasa bahagia karena seseorang yang baru hadir dalam hidupku, mengisi hari-hariku.

Tidakkah mereka mengerti? Aku tak pernah merasa seperti ini sejak aku sekolah. Aku tidak pernah merasa mencintai seseorang sedalam ini. Ayah dan Ibu harusnya mengerti, aku yakin mereka pasti pernah begitu. Aku bisa mempertahankan prestasiku tanpa gangguan dari kehidupan sosialku. Apa yang salah dengan jatuh cinta?

Apakah hanya aku satu-satunya disini yang dilarang merasakannya?

Tidak adil, sungguh tidak adil. Aku tak pernah bisa berfikir bagaimana aku menemukan seseorang seperti Yoongi. Ia begitu sempurna bagiku, ia mau menerimaku apa adanya. Siapa lagi yang seperti dia? Tolong beritahu aku.

Selama di pesawat pun aku terlalu memikirkan hal ini, mencari celah agar ayah sepenuhnya bisa mengerti akan perasaanku pada Yoongi. Tapi setelah kupikir lagi, itu tak mungkin. Mustahil.

Perjalanan pulang itu memakan waktu hingga 7 sampai 8 jam. Sesampainya aku di bandara, aku bertemu Mas Irvan. Ia menyambutku seperti biasa, dan membantuku membawa barang bawaanku yang cukup banyak dari Korea.

Saat perjalanan ke rumah pun rasanya membuat beban dalam benakku bertambah. Ayah tipe pemarah yang eksplosif. Ia mungkin sering bercanda, ramah, jahil padaku. Tapi sekalinya marah, ia akan meledak-ledak seakan seluruh darah yang ada di urat nadinya mendidih.

Aku takut.

Aku takut menghadapi kesalahanku sendiri.

Saat aku pulang ke rumah, ayah dan ibu sudah ada di ruang keluarga. Ketika aku menginjakkan kaki di rumah yang sudah aku tempati kurang lebih selama lima belas tahun ini, suasananya bukan lagi tentram. Atmosfernya sangat dingin dan kacau. Dan suasana itu bertambah suram ketika aku duduk di hadapan orang tuaku.

"Ayah mau bicara sama kamu, Ghania."

Ya Tuhan, aku siap jika aku harus mati hari ini juga.

Kenapa aku takut? Siapa anak yang tidak takut pada orang tuanya?

Mungkin memang ayah atau ibumu tak ingin kau menjalin hubungan dengan seseorang, entah mereka takut kau terbawa jauh dengannya atau takut karena hatimu yang sudah dibuat kuat sedemikian rupa akan hancur seketika.

Ini bukan berarti kau tidak pantas untuk merasakan cinta. Dan biarkan waktu yang akan menjawabnya.

🎡🎡🎡





ok maaf kalo chapter ini gajelas :')

My WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang