'DEMI APAAAAAAAAAA'
Kebiasaan. Aku harus menjauhkan ponselku saat ia teriak tepat di telingaku.
"Kak.. Kuping gue…"
'Tapi gue ga percaya anjir!!!'
"Bentar, lo gak di tempat deket ortu lo gitu kan."
'Nggak kok, gue lagi di luar ini. Bonyok gue lagi gatau kemana.'
"Good lah."
'Tapi… GIMANA CERITANYA?! KOK BISAAA'
"Panjang kalo di ceritain."
'Dih ceritain lah!!'
"Hmm…"
'Ah gitu sih..'
"Intinya mah gue awalnya ada cekcok sama dia, terus akhirnya jadian gini. Ah.. Gatau gue kak."
'Cekcok???'
Aku tertawa. "Iye. Dia marah gitu pas tau gue pacaran sama sunbae gue."
'LAH SERIUS MARAH?'
"Iyeeeee."
'Terus gimana marahnya?'
….. Tidak tidak. Mengingatnya membuat perutku terasa aneh.
"Ya.. Gitu dah."
'Hmmm mencurigakan.'
Tak perlu dicurigakan, mungkin yang kau curigakan memang benar terjadi dalam hidupku. Aku tak ingin sampai ia mengetahui hal itu. Cukup simpan dalam ingatanku saja.
"Kak."
'Yoms?'
"Jangan bilang siapa-siapa. Apalagi orang rumah gue."
'Hmm.. Baiklah.. I got you sis.'
AAAAH SUNBAEKU INI. JADI KANGEN.
'Udah ye, keknya bonyok gue udah balik tuh.'
"Hmm okay. Bye kak"
'Bye!! Yang langgeng ya. Gue menunggu saat dimana nanti lo jadi sepupu gue juga.'
Wah :) "Iya, doain aja. Lo juga ya sama kak Jimin. Bye." Ucapku.
Ia menutup sambungan telefonnya. Aku meletakkan ponselku di meja belajar dan terkejut karena melihat Yoongi yang ternyata sudah berdiri di depan pintu kamarku.
"Aishh kau! Membuatku kaget saja." Ucapku, melempar tatapan kesal padanya. Tapi ia hanya tersenyum licik melihatku kaget.
"Kenapa? Aku terlihat seperti hantu?"
Iya, mirip banget setan lo.
HEHE.
"Tidak."
"Sungguh???"
"Iya!!"
"Geurae. Kau mana bisa jatuh cinta padaku jika aku adalah hantu." (Benar)
Manusia ini minta dijadikan hantu sungguhan atau bagaimana? Aku kesal mendengar perkataannya.
"Kau mau jadi hantu sungguhan? Ingin ku kirim ke pemakaman dulu?"
"Ayy jangan begitu. Sini ikut aku."
Kemana lagi? Aku tak ingin ikut ke surga ya.
"Mau kemana??"
"Main piano bersama."
Yoongi menarik tangan dan menggeretku ke studionya. Ia mulai melepas pegangan tangannya dan berjalan ke arah pianonya, lalu duduk di sana. Menyisakan tempat duduk untukku dan menyuruhku duduk disana. Karena ia ingin aku duduk disampingnya, maka aku lakukan.
Tanpa berkata apapun, jariku menempel pada tuts piano tersebut. Aku menekan beberapa tuts secara teratur dan sesuai tempo, menciptakan nada yang familiar di telinga kami. Tak lama kemudian, Yoongi menyusul. Menghiasi nada polos yang baru aku buat tadi dan menjadikannya sebuah lagu.
Lantunan piano tersebut seakan menciptakan dunia baru bagiku. Mungkin, bagi Yoongi juga. Atau bisa aku katakan lagu ini membuat kami terjebak dalam satu dunia. Tak ingin melarikan diri darinya, bahkan jika ingin, pasti tak bisa.
Apakah kami sedang berteriak bahwa kami sedang saling jatuh cinta? Ataukah menyatakan perasaan bahwa kami sedang bahagia? Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Nada ini terlihat samar-samar. Aku hanya bisa mendengar lantunan piano yang terdengar sangat bahagia ini. Mungkin orang lain tidak akan mengerti dimana letak kebahagiaan dari lantunan piano ini. Hanya kami yang mengerti bagaimana rasanya seakan ada yang terikat di antara kami.
Awalnya aku tidak ingin berpikir sejauh ituㅡ bahwa ia adalah takdirku. Semakin aku berpikir bahwa hidupku masih panjang maka semakin besar keyakinan yang aku miliki bahwa pertemuanku dengan Yoongi bukan hanyalah sekedar pertemuan biasa. Mengapa demikian? Aku juga tidak tahu. Untuk masalah takdirku sendiri, aku serahkan kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Lantunan piano itu selesai. Aku menghela nafas, menyadari bahwa nada yang dimainkan oleh kami merupakan nada tersendiri yang indah untuk di dengar oleh kami berdua. Mungkin…
Aneh.
Aku menatapnya, membalas pandangan yang sudah ia berikan sejak pertama kali melepas jarinya dari tuts piano tersebut.
Aku senang bermain piano. Tapi memainkannya berdua merupakan suatu hal baru bagiku dan ini mengejutkan, aku tak percaya kami dapat menyesuaikan satu sama lain.
Dari situ aku menyadari suatu hal.
Apa yang ibu katakan benar. Ada kalanya aku ingat ketika ibu sering bercerita bahwa akan ada seseorang yang akan merubah hidupku suatu sama lain. Seseorang itu sama sepertiku, ia hidup, merasa sedih, marah, atau bahagia. Ia akan menjadi seseorang yang sangat spesial dalam hidupku. Ibu juga bilang mungkin aku akan hidup dengannya, karena itu aku takut untuk bertemu orang itu. Tapi ibu berkata bahwa aku tak boleh takut, karena ia akan sangat menyayangi dan mencintaiku.
Apakah orang itu orang yang di sampingku, bu? Kenapa ia datang tak mengenal waktu? Kenapa aku bertemu dengannya sekarang? Bukankah lebih baik jika aku bertemu dengannya mungkin tiga atau empat tahun lagi?
Aku tak tahu. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi padaku di masa depan. Bahkan aku tak tahu apa yang akan terjadi pada detik selanjutnya.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Kupikir kau membuatkanku sebuah lagu. Makanya kau bawa aku ke studio mu."
Ia kembali memencet tuts pianonya. Aku masih belum bisa mengalihkan pandanganku.
"Haruskah aku?"
"Tidak juga, sih. Aku bercanda."
"Lagipula, ya. Hal seperti ini lebih mahal harganya, tak bisa hanya aku ungkapkan lewat lagu."
Dasar tsundere.
Aku hanya bisa tertawa dan melihat senyum gusinya yang terlalu manis untuk dipandang itu. Lalu menyenderkan kepalaku di bahunya seraya melihat dan mendengar permainan piano darinya.
Kami saling takut untuk jatuh cinta karena kami takut terluka. Tapi ketika tiba waktunya kami terjatuh, apa kau tahu hal pertama yang kami takuti?
Kami takut akan kehilangan seseorang yang dicintai.
🎡🎡🎡.
.
.Sorryif this fic was too cheezy, because i always wrote what's on my mind ಥ_ಥ
KAMU SEDANG MEMBACA
My World
Fanfiction[completed] Ghania adalah seorang gadis asal Indonesia yang berkesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Korea Selatan. Berbagai alasan memaksanya untuk tinggal bersama seseorang, yang hingga saat ini ia anggap sebagai dunianya. 항상 널 찾은 거야. - I'...