46. Pulang

1.2K 129 11
                                    

Satu tahun bukan waktu yang lama. Sepulangnya dari Korea, aku tak pernah bertatap wajah lagi dengan Yoongi. Begitu terus hingga akhirnya sekarang.

Entah sekarang ia dimana, dengan siapa, sedang apa, apakah ia makan dengan baik? Apakah ia istirahat dengan baik? Aku tak tahu. Ia menghilang begitu saja.

Lebih seperti aku yang menghilang dari kehidupannya.

"Murung aja, Ghan.. Kenapa nak.."

Suara Ibu membangunkanku dari lamunan siang itu. Memikirkan seseorang yang jauh di sana, apa aku salah? Oh ya, aku bersalah sejauh ini.

Ibu duduk di sampingku dan menyambut dengan senyuman. Begitu juga aku membalasnya demikian.

"Besok kerja gak boleh murung, nanti muridmu pada kebingungan." Kata ibu.

Aku tertawa kecil, "Iya bu, enggak kok." Ujarku.

Bila diingat rasanya begitu cepat, baru kemarin aku di terima sebagai mahasiswa beasiswa di universitas tempat aku menuntut ilmu, sekarang aku akan bekerja sebagai guru seni di salah satu SMA yang ada di Jakarta. Berkat titel sarjana yang mereka berikan, sangat mempermudah aku untuk mendapatkan pekerjaan walau masih jadi guru honorer.

"Ibu mau tanya sama kamu." Katanya.

"Apa bu?"

"Kamu siap sama Lian?"

Pertanyaan itu kembali muncul.

Sejujurnya, dari lubuk hati yang paling dalam, aku tidak akan pernah siap. Yang aku lakukan nanti hanyalah menyakiti hatinya terus-terusan. Aku ingin menghukum diri sendiri karena belum bisa memegang omongan sendiri -menerima Lian dalam kehidupanku lagi.

Sulit.

Untuk Lian yang pernah aku cap jadi cinta pertamaku, setelah ia pergi dan aku menjalani duniaku sendiri, bertemu dengan Yoongi dan jatuh cinta padanya ia malah kembali lagi dalam hidupku. Selalu seperti itu, tarik ulur yang takkan ada henti.

Sekarang aku lelah, dan harus dihadapkan oleh kenyataan bahwa aku akan menerima Lian nanti. Tak semudah itu, Yoongi sudah memiliki tempat di benak. Biarpun aku berusaha sekuat mungkin untuk mengganti namanya dengan nama orang lain, terlalu berat kenyataan bahwa bukan Yoongi yang akan menemaniku mengucapkan janji suci di depan altar nanti.

Aku bukan hidup di zaman Siti Nurbaya, ataupun di opera sabun.

"Enggak, bu." Ucapku jujur.

"Ibu ngerti…" Ibu memegang tanganku,"Kamu masih kepikiran sama yang di Korea, ya?" Lanjutnya.

Aku mengangguk pelan, "Kamu sayang banget sama dia?" Tanyanya.

Aku bungkam untuk sesaat.

"Pastinya ya, ibu gak perlu tanya lagi." Ucapnya.

"Bu.."

"Hm??"

"Aku pengennya sama Yoongi, bukan Kak Lian.." Lirihku.

Ibu menarik nafas dan menghempaskannya, "Ibu ngerti... Udah sekarang Ghania berdo'a sama Tuhan, supaya semuanya berjalan lancar…"

"…."

"Toh nanti kalau jodoh kamu itu Yoongi, ibu juga enggak bisa ngelarang, kan?"

Aku mengangguk kecil kembali. Mendengar suara lembut ibu yang begitu menenangkan hati.

"Sekarang ini kamu jalani dulu aja. Ibu selalu ngedoain kamu yang terbaik, biar kamu bahagia nantinya. Mau kayak gimana anak-anak ibu juga selalu ibu doain yang terbaik untuk kalian."

Ibu memelukku. Baru kali ini aku merasa lega di dalam benak. Pelukan ibu memang yang terbaik untuk melepas segala keluh kesah.

"Besok ayahmu mau ajak kamu main, kamu turutin ya."

Aku mengangguk dalam pelukannya.

Seburuk apapun anak-anaknya, orang tua selalu mendoakan yang terbaik pada mereka agar mereka sejahtera dan bahagia.

Bagai jalan tak ada ujung, aku terus mengikutinya tanpa henti, berharap bertemu denganmu sekali lagi.

🎡🎡🎡

My WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang