Part 40

2.3K 161 7
                                    

Aku sudah tiba di kelas ku. Keadaan kelas masih seperti biasanya. Ribut karena gosip. Aku melangkah masuk ke dalam kelas ku. Tiba-tiba, aku disambut oleh Ray dengan ekspresi wajahnya yang tergesa-gesa sehabis dikejar setan. Aku menanyakan apa yang terjadi padanya.

"Rine, jujur aja, kamu tau kalo aku abangmu?" Ia menanyakan hal ini dengan suara yang mengecil. Aku sedikit tersentak saat ia membicarakan hal ini terang-terangan tanpa basa-basi. Ini semua pasti sumbernya dari Keine. Kenapa sih dia harus memberitahunya? Karena sudah ketahuan, aku tidak bisa buat apa-apa lagi. Aku mengangguk pelan diselingi helaan nafas berat.

"Jadi, kamu tahu ayah mu dan ibumu kan? Pak Arlex?" Aku mengangguk sambil berjalan ke arah tempat duduk ku untuk menaruh tas ku di atas kursi-ku lalu duduk. Keine sudah datang. Aku menatapnya tajam dan sepertinya ia mengerti mengapa aku marah.

"Berarti.... Kamu tahu kakak pertama kita siapa?" Tanya Ray dengan nada sedikit ketakutan. Kakak pertama? Kak Raynie? Aku hanya mengetahui namanya. Aku tak pernah bertemu dengan kakak.

"Kak, Raynie kan? Aku... Tidak ingat sepenuhnya. Bayangannya samar-samar dan susah untuk dijelaskan." Aku menjawabnya dengan menyenderkan badan ku ke senderan kursi.

"Hah, lebih baik, kamu untuk sementara tidak mengetahui kak Raynie dulu. Sorry, hal ini harus ku rahasiakan dari mu. Tapi, suatu hari pasti terbongkar." Ucap Ray pasrah dengan melangkah pergi menjauhi tempat duduk ku. Ia balik dan ikut nimbrung dengan teman-temannya. Aku hanya menghela nafas berat dan membaringkan kepala ku di meja.

"Siapa sih Kak Raynie? Kenapa aku ga boleh tau? Dia kakak ku sendiri! Haruskah dengan sesama keluarga main rahasia-rahasia kayak gini?" Aku melampiaskan amarahku dengan bergumam sendiri di tempat duduk ku. Keine berusaha menghibur ku, dengan perkataan yang belum pasti tetapi ia yakinkan.

"Mungkin ada alasan lain yang dia tidak bisa utarakan pada mu Rine, jangan lah bersedih seperti itu." Keine menghiburku dengan mengelus puncak kepalaku. Aku merasa pipiku mulai panas dan memerah. Per...perlakuannya...

"Su...sudah! Akh... Ak... Aku ga apa apaa! Sana sana! Jangan deket-deket!" Aku mendorongnya untuk menjauh dariku. Ia terlihat bingung melihatku. Aku menutup mukaku dan tidak ingin memperlihatkan muka merah ku ini.

"Hei? Napa sih? Tadi nangis, sekarang marah-marah. Dasar cewek labil!" Gumam Keine seraya berusaha duduk di samping ku. Aku terus mendorongnya dan sepertinya dia terus memperhatikan ku.

"Kau kenapa sih? Muka mu kenapa? Kok ditutup-tutupin? Ada jerawat? Muka mulus gitu juga!" Keine berusaha melepaskan tanganku yang menutup mukaku. Tetapi aku lebih menutupnya dengan kuat. Ia pun menyerah dan mengatakan ku aneh.

"Biarin. Sudah sana main sama yang lain dulu!" Aku mengusirnya secara tak langsung. Ia pun pergi beranjak dari tempat duduknya. Aku segera melipat tanganku di meja dan menundukkan kepala di atas tangan ku.

"Rine? Kamu gapapa kan?" Tanya seseorang menepuk tanganku pelan. Aku mengangkat kepalaku dan menggelengkannya. Cewek berambut blonde panjang. Dia adalah Shyra.

"Eh Shyra, nggak kok. Aku cuma ngantuk aja. Emang ada apa?" Aku merapikan rambutku yang sepertinya acak-acakan.

"Kamu dipanggil sama Pak Arlex. Di ruangannya." Jawaban Shyra membuat ku tersentak. Ini waktunya aku akan membicarakannya pada Pak Arlex, Ayahku.

"Iya. Makasih infonya." Aku cepat-cepat mengikat rambutku dan beranjak dari tempat duduk ku. Aku berjalan di koridor kelas menuju ruangan Pak Arlex. Saat tiba di depan pintu ruangannya, aku menarik nafas karena sedikit gugup. Aku mengetuk pintunya dan terdengar suara dari dalam menyuruhku untuk masuk. Aku pun masuk.

"Misi pak, ada apa ya pak?" Aku permisi untuk masuk dan melihatnya sedang duduk di kursi putarnya dengan menatap ke belakang. Tiba-tiba ia memanggilku.

"Rine, jujur saja jika kamu sudah mengetahui bahwa saya adalah ayahmu. Ray adalah abangmu, dan Lunarisa yang selama ini kita bicarakan adalah ibumu dan istriku." Pak Arlex membalikkan kursinya dan menatapku. Aku menundukkan kepalaku dan tidak tahu mau jawab apa.

"Iya pak. Saya sudah tau."

"Hahh... Saya sudah menduga bahwa hal ini tidak akan bertahan lama. Ya sudah, jadi misi kita ini sekarang menyelamatkan ibumu. Ujian memang masih lama, masih 1 tahun lagi. Tetapi kita tidak tahu apa kabarnya Kerajaan Mystique."

"Mereka akan menyerang kita?"

"Jelas. Tetapi kita tidak tahu kapan. Kamu sudah tahu kan? Kalo ujian itu hanya di galaksi rekayasa. Bukan yang asli. Tetapi, khusus untuk mu, pilih 4 orang dari kelas cahaya yang paling hebat. Karena kamu akan bertempur di angkasa yang sebenarnya."

"A..apa?! Yang sebenarnya? Kalo saya mati gimana? Bapak ga kasian anaknya mati ya? Bapak apaan sih.."

"Sembarangan! Ngomong tuh yang bener! Ngomong kok mati-mati gitu!"

"Saya ngomong yang realita loh. Angkasa itu gila pak. Luas, kalo mati ga tau kemana loh mayatnya!"

"Ibumu lahirin kamu juga diambang nyawa bego! Ga mau membalasnya?" Aku terdiam saat mendengar perkataannya. Seketika aku langsung meneteskan air mata.

"Ayah sama ibu sudah ninggalin aku berapa lama? Dari aku berumur 7 Tahun! Ok, ayah sama ibu udah besarin aku susah. Tapi kakak! Kakak kalian ada semua! Aku ditinggal sendiri di gudang! Trus kalian menghilang tiba-tiba dan membuatku trauma lebih dari sepuluh tahun! Aku kira aku yang membunuh kalian! Setelah bertemu kalian sekarang, kenapa kalian rahasiakan? Kalian masih bilang aku jahat? Ngaca siapa yang jahat sekarang!" Aku melampiaskan amarahku sambil meneteskan beberapa air mata. Setelah selesai membantahnya dan melampiaskannya, aku pergi dari ruangannya dengan rasa sedih campur amarah.

Aku sudah tidak ada niat ke sekolah. Kepalaku pusing sekali, mataku sudah sangat sembab. Saat aku balik ke kelas, ternyata Pak Lynn sudah datang. Aku permisi masuk kelas dan duduk di samping Keine. Aku menidurkan kepalaku di atas tanganku yang terlipat dan kuletakkan di meja.

//Plakk!!//

Seseorang memukul tanganku dengan sangat keras. Aku sontak menaikkan kepalaku. Aku melihat di sampingku adalah Pak Lynn. Dan tidak salah lagi, dia lah yang memukul ku.

"Berani tidur di kelas saya? Pintar sih pintar, tapi ga ada sopan santun! Pernah diajarin sama orangtuanya tidak?" Amarahku serasa memnucak di ubun-ubun kepala ku. Kata 'orangtua' yang ia sebutkan ini membuatku teringat masalah tadi. Aku menggebrak meja dengan sangat kuat dan seisi kelas terkejut melihat ku.

"Kalau bapak tidak tahu masalahnya, tolong jangan menyinggung masalah orangtua!" Bantahku dengan sedikit meninggikan suaranya. Ia mulai berubah auranya.

"KELUAR KAMU SEKARANG! DASAR MURID TIDAK TAHU SOPAN SANTUN! SAYA INGIN BERTEMU DENGAN ORANGTUAMU!"

"Saya orangtuanya. Silahkan bertemu dengan saya!" Seseorang menjawab Pak Lynn di depan pintu. Seisi kelas terlihat shock saat melihat sosok yang di depan pintu itu. Aku mendongakkan kepala ku sedikit dan melihat...
.
.
.
.
.
Pak Arlex. Ia mengakui bahwa aku anaknya? Sulit dipercaya. Ia bahkan sudah menelantarkan ku selama 10 tahun lebih.

Magical ControllerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang