Part 46

2.1K 140 7
                                    

"Ughh..." Rintih seorang perempuan berambut kuning yang sedang berbaring di atas kasur tak berdaya. Seorang guru, yang tak lain adalah Pak Arlex alias ayahnya sendiri, langsung berdiri saat melihat anaknya, Rine membuka matanya perlahan. Ia sudah siuman rupanya.

"Rine! Kamu udah sadar? Gimana kondisimu? Masih pusing nggak?" Tanya Pak Arlex khawatir. Ia membantu Rine untuk bangun dan duduk bersandar pada sebuah bantal.

"Pa, nggak apa-apa kok aku. Cuma sakit sedikit aja kepalanya. Eh?" Rine kebingungan saat melihat sehelai rambutnya berwarna kuning keemasan. Ia pun bertanya pada ayahnya apa yang terjadi saat ia sedang berada di kondisi pingsan.

"Apa yang terjadi? Kenapa rambut ku berubah warna? Apakah ayah mengecatnya?" Tanya Rine.

"Tidak. Sama sekali tidak. Ayah juga bingung apa yang terjadi padamu. Bagian belakang rambut mu masih hitam, tetapi warna kuning keemasan tersebut seakan-akan merambat ke seluruh rambutmu. Kemungkinan, rambut mu akan sepenuh ya berubah menjadi warna kuning keemasan."

"Ha? Memangnya ada apa denganku? Apa aku menderita penyakit yang parah?",

"Tidak, sepertinya tidak. Ini seperti ada pertanda, rambut kuning keemasan ini mirip sekali dengan... Ibumu."

"Apa? Ibu? Maksdunya ayah Ratu Lunarisa?"

"Ya. Mirip sekali, tekstur warnanya, kecerahan dan kontras dari warnanya persis sekali dengan rambut ibu mu."

"Kenapa bisa? Kenapa ini bisa terjadi?" Tanya Rine semakin kebingungan. Ia semakin risih dengan rambutnya yang berwarna itu.

"Ayah tidak tahu banyak tentang misteri yang seperti ini. Hanya ibumu lah yang tau rahasia dari sebuah sihir cahaya. Karena ialah ratunya."

"Bagaimana cara menanyakan hal ini padanya? Sedangkan ia sekarang sedang dikurung oleh Ratu kegelapan."

"Maka dari itu, kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang hal ini selain dari sumbernya yaitu Ratu Lunarisa."

"Jadi, bagaimana? Kita biarkan saja rambut ini berubah warna? Bagaimana jika teman-teman ku memergoki ku, yang warna rambutnya berubah? Aku bisa dipermalukan! Pasti mereka akan bilang aku gila, aku aneh, aku tidak normal. Tolong cari cara agar rambut ku tidak berubah menjadi warna kuning keemasan ini." Rine memohon dengan sangat pada Pak Arlex.

"Begini saja, bagaimana jika kita ke salon sekarang, dan membeli sebuah rambut wig yang cocok dengan mu. Sementara kita rahasiakan dulu rambut mu ini."

"Oh ok. Yang tau cuman Pak Arlex saja kan?"

"Tidak. Ressa juga mengetahuinya."

"Hah? Kok bisa? Dimana dia sekarang?"

"Entahlah. Dia sedikit aneh. Saat melihat rambut mu berubah warna, ia seperti ketakutan begitu. Setelah itu ia pergi keluar. Dan hingga hari ini dia belum masuk."

"Uhhh... Apa dia mengira aku monster? Apa dia takut padaku? Setelah ini pasti dia tidak mau berteman denganku lagi dan pasti ia akan memberitahu hal ini kepada yang lain."

"Jangan berfikiran seperti itu. Ressa sudah lama berteman dengan mu! Dia tidak mungkin seperti itu."

"Tidak mungkin pak! Mau temenan selama apa pun, kalo hal ini terjadi, siapa yang tidak takut? Siapa yang tidak menjadi benci? Tidak ada pak!" Bantah Rine sambil meneteskan air mata.

"Ugh! Arghhh!!!" Rintih Rine yang memegang kepalanya. Kepalanya terasa sakit sekali. Tampak Pak Arlex yang panik dan khawatir melihat reaksi Rine seperti ini.

"Rine! Sudah, jangan menangis lagi! Ressa tidak akan seperti itu! Dia adalah teman yang baik Rine! Sudah istirahat lah terlebih dahulu."

Rine's POV

Ada apa denganku? Kenapa firasat ku tidak enak? Rasanya ada yang ingin menusuk dari belakang? Ressa kah itu? Tidak! Dia temanku sendiri! Dia tidak mungkin seperti itu! Jadi siapa? Flera? Aku memang sudah curiga dengannya dari awal. Mungkin dia. Akh! Kepalaku... Terasa sakit sekali!

"Rine! Sudah jangan menangis lagi! Ressa tidak akan seperti itu! Dia adalah teman yang baik Rine! Sudah istirahat lah terlebih dahulu." Ucap Pak Arlex meyakinkan ku bahwa Ressa tidak seperti yang aku pikirkan.

Semoga saja. Aku juga sama sekali tidak berharap begitu. Tetapi tetap saja, aku takut. Zaman sekarang, jika orang ingin menghancurkan orang lain, tidak dengan cara kasar atau cara frontal, tetapi dengan cara baik-baik, bersahabat, tetapi menusuk dari belakang. Sepertinya sih firasat ku lebih mengarah ke Flera.

"Rine, istirahat dulu. Nih baring-baring. Saya suapin makannya mau? Kamu belum makan dari kemarin. Pantas saja kamu pusing dan lemas." Ucap Pak Arlex dengan nada yang begitu perhatian pada ku. Aku tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil mangkok yang berisi bubur ayam di dalamnya.

"Makasih ya Pa. Ummm... Aku boleh kan panggil papa?" Tanya ku pelan. Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya bisa memanggil ayah kandungku sendiri dengan sebutan ayah. Bagaimana keadaan ibuku sekarang? Aku harus segera menyelamatkannya. Agar keluarga ini kelak dapat berkumpul kembali. Sabar, aku ada satu kakak lagi. Siapa namanya? Akh! Aku sempat mengingatnya kemarin.

"Tentu saja boleh. Atas dasar apa saya melarangmu. Justru saya lebih senang jika kamu mau memanggil saya papa. Berarti kamu menganggap saya adalah ayah mu Rine."

"Makasih pa. Aku tidur dulu boleh tidak?"

"Boleh. Sini biar saya bantu turunin bantalnya. Kamu istirahat yang cukup. Ini ada bubur, kamu makan sebentar ya."

"Iya pa." Jawab ku sambil tersenyum. Aku benar-benar sangat senang, melihat ayahku yang sangat peduli dengan kondisi kesehatan ku.

Ia menyuapkan sesendok demi sesendok bubur. Ia benar-benar adalah ayah idaman. Memang sifatnya yang dingin dan cuek itu, tetapi dibalik itu semua, ia adalah tipe ayah yang penyayang dan peduli sekali.

"Eh pa, Keine mana ya? Dia ada datang jenguk aku nggak?" Tanya ku tiba-tiba teringat Keine.

"Belum mungkin. Tapi setau saya, dia sudah tahu kondisi mu, kata Ray dia bantu kamu untuk mengetik catatan pelajaran untuk mu, dan mungkin itu membuatnya lelah, karena catatan nya sangat banyak."

Apa? Keine mengetik catatan pelajaran buat aku? Segitu banyak? Pasti dia sangat kecapekan. Wajar saja dia tidak sempat untuk menjenguk ku.

"Ohh."

"Kamu kangen sama dia? Dia anaknya baik ya. Tulus orangnya." Ucap Pak Arlex yang membuat ku sontak terkejut.

"Eh nggak! Aku nggak kangen sama dia. Biasa saja kok." Ucap ku berusaha mengelak. Pak Arlex hanya tersenyum melihat tingkah aneh ku.

"Ya sudah, nanti ayah panggilkan dia. Kamar dia di sebelah bukan?"

"Nggak usah pa! Biar nanti dia aja sendiri. Kasian, dia pasti kecapekan."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan sangat keras. Tampak sosok Keine yang sangat tergesa. Ia masuk dan menutup kembali pintunya dengan lembut. Ia mencoba mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

"Ada apa dengan mu?" Tanya Pak Arlex yang juga menyaksikan dobrakan pintu yang dilakukan oleh Keine.

"Rine sudah sadar? Syukurlah,"

"Kok kamu sekhawatir itu? Dia sudah tidak apa-apa kok." Ucap Pak Arlex. Aku hanya tersenyum melihatnya yang memasang muka lega. Lucu sekali.

"Oh iya! Rine! Ada informasi yang kamu harus benar-benar tahu!"

"Informasi? Informasi apa?" Tanyaku kebingungan.

"Kamu tahu penyebab rambut mu berubah warna?"

"Apa? Tentu saja tidak. Memangnya kamu tahu?"

"Tentu saja! Rambutmu berubah seutuhnya pada malam ini tepat pada pukul 12. Bersamaan dengan Ressa!"

"APA?!" ucap ku dan Pak Arlex bersamaan sangking terkejutnya.

Magical ControllerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang