Part 42

2.1K 151 7
                                        

Keine di mana ya? Kok dari tadi aku cari di kelas, kantin sama kamarnya ga ada ya? Seharusnya dia kan bantu aku untuk meredakan emosi Rine. Rine pasti bisa lebih tenang kalo ada Keine. Dia kan suka sama Keine. Hahh... Di mana sih Keine? Balik kamar aja kali ya? Tapi masalahnya Rine masih ngamuk. Kalo aku balik bisa diserang sama bola cahaya nya nih. Jangan dehh... Aha! Ke helipad di atas sekolah aja!

Saat aku tiba di helipad sekolah, suasana sejuk dari angin sepoi-sepoi yang bertiupan bergantian mengembalikan otak segarku. Aku melihat sosok laki-laki, duduk di tepian. Ah, jangan bilang dia mau bunuh diri deh.. ngga lucu. Siapa sih itu? Karena penasaran, aku pun menghampirinya pelan-pelan. Dan ternyata dia adalah...

"Keine! Astagaa! Ngapain kamu di sini? Mau bunuh diri cari tempat lain aja kek! Sini terlalu rendah mah buat bunuh diri. Ga mati kalo di sini."

"Sembarangan! Siapa yang mau bunuh diri? Aku cuma cari udara segar Res, Lu juga, ngagetin kali." Keine terlihat terkejut dengan kehadiran ku di sini. Aku hanya terkekeh kecil dan duduk di sampingnya. Jelas, kami sudah mundur duduknya, tidak di pinggiran lagi.

"Napa sih Lo? Galau? Rine galau, Pak Arlex galau, kau pun galau. Hari ini hari galau sedunia atau apa sih? Cloudy Kali mood kalian semua. Jadinya di sini kan aku yang ga waras."

"Emang. Baru nyadar Lo ga waras?"

"Cari masalah nih orang. Napa sih Lo? Cerita lah."

"Ga ah. Malas buka mulut."

"Plester aja tuh mulut. Bila perlu jahit sekalian biar ga sah buka."

"Iya iya. Gue cerita. Yah ini masalahnya tak jauh dari Rine. Lo udah tau ortunya Rine?"

"Udah."

"Ya, kan itu semua aku yang kasitau. Nah pas udah kasitau ke Rine, dia bilang jangan kasitau siapa-siapa termasuk Ray, dan Pak Arlex. Aku ga ada kasitau siapa-siapa. Beneran, tapi Pak Arlex tadi tiba-tiba panggil Rine ke ruangannya, Pak Arlex sepertinya udah tau, tapi bukan aku yang kasitau. Ntah bapak itu tau darimana. Terus Rine jadinya sekarang ngirain aku yang kasitau."

"Nah makanya Rine marah gitu?"

"Ya. Aku gatau kenapa dia ga mau dikasih tau sama Pak Arlex bahwa dia sudah mengetahui bahwa Pak Arlex adalah ayahnya. Ntahlah kenapa. Jadi sekarang dia marah banget sama aku. Tidak ada kesempatan untuk ngomong dengannya."

"Ok, penjelasan tentang hal ini ada kaitannya semua. Emosi Rine sangat tidak bagus. Jadi kita harus membantunya menstabilkan emosi."

"What? No! Emosi dia memang seperti itu sejak dulu. Ia akan susah untuk diubah Res. Jangan bermimpi untuk mengubahnya. Dia bisa mencelakakan kita dan dirinya sendiri."

"Hey! Bukankah kalo dia ga bisa ngontrol emosinya sendiri, sihirnya tak terkendali dan lebih membahayakannya? Open your mind dude." Aku membantah perkataannya yang menurutku tidak masuk akal.

"Tapi, dia akan mencelakakan orang, dan itu akan membuatnya semakin trauma untuk menggunakan sihirnya Res. Dia pernah mengira bahwa dia mencelakakan orang tuanya. Dan dulu dia pernah bertarung dengan Kak Keane hingga Rine pingsan. Mangkanya dia ga berani menggunakan sihirnya. Ah, kau tidak tahu masa..."

"Aku tahu masa lalunya. Jangan pernah berfikir bahwa aku tidak tahu masa lalunya."

"Apa yang membuat dirimu berkata seyakin itu? Dari mana kau tahu masa lalu seseorang jika kau tidak pernah bertemu atau bersama dengannya di masa lalunya? Kau baru bertemu dengan Rine di sekolah Magical Controller, dan aku tahu pasti, Rine bukanlah anak yang suka membicarakan masa lalunya."

"Bukan dari Rine, bukan dari siapa-siapa. Sebelumnya, aku memang tidak pernah memberitahu kalian semua. Aku tahu latar belakang kalian semua, masa lalu suram maupun kesenangan kalian semua. Hanya berpura-pura tidak tahu."

"Apa? Kau tahu segalanya? Dari mana kalau bukan orang yang memberitahu mu?"

"Aku memang tidak berada dengan Rine saat di masa lalunya. Tetapi, aku tahu semuanya karena..."

"Karena apa?"

"Aku punya... "

Rine's POV.

Aku benar-benar sangat suntuk di kamar. Hah, lebih baik aku keluar dan mencari udara segar. Besok, apakah aku akan ke sekolah? Aku tidak yakin mental dan emosi ku bisa terkendali besok.

"Rine? Aku boleh masuk?" Seseorang datang lagi. Aku menoleh kan kepalaku malas dan melihat sosok yang sangat tinggi, ia adalah abangku, Ray. Aku menghela nafas dan mengangguk pelan.

"Kamu udah baikan? Tadi ada masalah ya?" Ray menghampiri ku dan duduk di samping ku. Aku merasakan kehangatan dari seorang kakak. Perlahan-lahan, aku mulai meneteskan air mata.

"Rine? Loh... Kok nangis? Ada apa? Cerita sama aku." Ray sangat peduli dan perhatian padaku. Aku pun menceritakan semua masalah yang kualami tadi di kelas dan dengan Keine dan Ressa.

"Sudah, kamu jangan pernah berpikiran bahwa Ayah atau ibu tidak menyayangi mu. Ada sesuatu masalah yang belum bisa kami beritahu pada mu di masa lalu. Dan ini menyangkut dengan Kakak kita, Kak Raynie. Ayah sangat menyayangi mu."

"Benarkah?"

"Tentu. Tadi saat kau pergi dari kelas, ayah menyuruh ku dan Keine untuk menyusul mu. Keine bilang bahwa biar dia saja dulu. Aku bergantian dengannya. Ayah membela mu mati-matian. Dan masalahmu dengan Pak Lynn sudah selesai. Pak Lynn menerima permintaan maaf nya. Ayah sangat sayang padamu Rine. Jangan pernah menaruh dendam dengannya. Dengan ayah dan ibu. Kau tahu itu tidak baik bukan?"

"Iya kak. Kenapa sih kalian ngga mau kasitau masa lalu nya? Ada apa? Segitu rahasianya kah? Aku mau tahu kak." Aku mendesak Ray untuk memberitahu nya. Tapi, apa daya, ia tetap bersikeras untuk menjaga rahasianya. Aku pun pasrah.

"Biarlah waktu yang membongkar rahasia nya. Aku capek nego sama kakak. Emm... Aku mau tanya, kakak tau kalo aku udah tau semuanya ini dari siapa?"

"Emm... Dari siapa ya? Gatau tuh. Tiba-tiba aja taunya. Emang kenapa?" Tiba-tiba? Tak masuk akal banget alasannya. Pasti Keine suruh tutup mulut.

"Dari siapa kak? Jawab yang jujur lah."

"Yang jelas, ayah tau dari aku. Aku yang memberitahu nya." Yang ini sudah kupastikan. Tapi, Ray tau bahwa aku telah mengetahuinya dari siapa? Tidak ada orang selain Keine.

"Dari Keine ya?" Aku menanyakan nya langsung ke sasarannya. Tidak ada basa-basi lagi. Ia tampak terkejut, dan aku mengambil kesimpulan bahwa Keine yang memberitahunya. Ia masih berbohong padaku dan mengelak lagi. Benar-benar menyebalkan.

"Dari Keine? Mana ada." Hah? Mana ada? Berarti bukan dari Keine? Jadi dari siapa dong?

"Tapi jangan kasitau siapa-siapa ya. Dari temanmu, sahabatmu...
.
.
.
.
.
.
Ressa.

Woi! Serius amat bacanya... Ada author di sini.
Nah, author mau kasitau sesuatu nih...

Magical ControllerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang