Cindy Lella Hendranata, orang paling kubenci di muka bumi ini.
-----
Aku hanya bisa terbengong. Berdiri stagnan di tempat tanpa tahu harus berkata apa. Kedua mata kukerjapkan berulang kali, masih terlalu terkejut dengan ucapan Mama barusan, sedang Mama sendiri malah sibuk meminum jus diet sehatnya yang sejujurnya terasa menjijikkan itu. "Mama serius?" tanyaku memastikan.
Mama mengangguk pelan, meletakkan gelas yang hanya menyisakan sedikit lagi minuman berwarna hijau aneh tersebut. Dia menjilat bibirnya yang sedikit kotor, menatapku tepat di mata tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Iya, An," jawabnya, "ini Papa lagi jemput dia dari bandara."
Lagi-lagi perkataan wanita di depanku ini diluncurkan dengan terlampau santai. Apa dia tidak sadar bahwa aku begitu terkejut saat ini?
"Tapi kenapa, Ma? Bukannya dia baik-baik aja di sana? Gran dan Gramps juga bisa jaga dia, apalagi pendidikannya lebih baik. Kenapa dia tiba-tiba pindah dari Amrik?" Aku masih tak terima ini. Bisa-bisanya Mama dan Papa Bram memutuskan untuk membawanya pulang lagi, tanpa sepengetahuanku pula. Dia baru saja menjalani setengah tahun di luar negeri, dan hari-hari itu merupakan waktu terbaik yang pernah kualami, tapi sekarang? Kalau saja dia melangkah masuk ke rumah ini, sudah dapat dipastikan untuk ke depannya, hanya akan ada rasa marah dan kesalku padanya.
Mama mengendikkan bahunya tak acuh, mencomot sekeping biskuit dari dalam stoples lalu memakannya dengan nikmat. Ya, diet. "Kesehatan Gran lagi menurun akhir-akhir ini. Mama dan Papa gak tega kalau membiarkan mereka kerepotan memikirkan Cindy di sana. Yang ada nanti kesehatan Gran semakin menurun karena kepikiran terus."
"Lah, bukannya malah itu gunanya dia di sana? Cindy bisa bantuin mereka, kan?"
"Cindy itu masih enam belas tahun, An. Dia mungkin gak bisa sendirian di sana, Mama dan Papa khawatir," Mama menjawabnya sambil terus mengunyah biskuit tersebut sampai habis. Setelahnya dia bangkit berdiri dan pergi menuju kamar.
Aku mengembuskan napas panjang, terlalu kesal saat ini hanya dengan mendengar kedatangan si anak iblis itu. Kuletakkan kepala di atas meja makan, mengacak rambutku frustrasi. Hari-hariku bakal kacau setelah kehadirannya di rumah ini lagi. Bahkan tikus pun akan lari terbirit-birit hanya dengan melihat wajah sok baiknya itu. Cindy Lella Hendranata, orang paling kubenci di muka bumi ini. Dia adalah pencuri perhatian, selalu menampakkan sosok malaikatnya di depan semua orang---beberapa kali di depanku---tapi aku tahu yang sebenarnya. Dia hanya pengguna topeng monyet. Munafik.
Mendengar suara gerbang terbuka, aku segera mendongak, melirik ke arah depan rumah. Bisa kulihat dari sini Mama yang bergegas keluar kamar dan membuka pintu. Awalnya aku ingin kembali bersandar pada meja, namun semuanya batal ketika mendengar suara Mama yang berseru dengan nyaring, "Cindy!!"
Aku membelalakkan kedua mataku, bahkan sampai membuatku merinding memikirkan apakah keduanya bisa lepas dan keluar dari tubuhku. Belum bisa menerima berita kedatangan Cindy yang dadakan dan sekarang dia sudah ada di depan rumah?! Apa Papa dan dia melakukan teleportasi?
Mungkin, sih. Cindy kan penyihir.
Ingin menyambut kedatangan Papa, aku segera mengubur niatku dalam-dalam. Aku tak bisa melihat wajah jelek Cindy sekarang, yang ada nanti aku terbakar emosi dan menyiksanya di depan orang tua kami. Gegas aku bangkit berdiri, berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarku yang tepat berseberangan dengan kamar Cindy. Kututup pintu, tak lupa menguncinya juga. Aku tak mau kalau nanti Mama menyeret Cindy memasuki kamarku hanya agar kami berpelukan bersama. Aku bukan Teletubbies dan pastinya tak mau bersentuhan dengan gadis berhati busuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...