Bab 19

594 88 37
                                    

"Fase terburuk dari jatuh cinta adalah saat lo mulai berharap."

-----


Putri tidak bisa memberikan saran yang bagus. Dia hanya menemaniku selama dua hari aku tidak sekolah dengan alasan sakit, sementara dia bolos hanya untuk mengelap ingusku. Dan selama itu pula yang dilakukannya hanyalah mengatakan, “Anna, jangan nangis lagi. Udah cukup muka lo hancur karena mata bengkak dan bibir pucat. Udah kayak mayat hidup, tau gak? Jangan nangis lagi, ya?” Dan anehnya kata-kata itu malah lebih membuatku semakin ingin menangis.

Pagi ini, aku memutuskan untuk bersekolah. Aku tahu jika dalam tiga hari aku tidak ‘sembuh’ maka Mama akan menarikku ke rumah sakit untuk diperiksa. Aku tidak mau menambah kebodohanku lagi dengan membiarkan Mama mendengar, “anak anda memang sakit. Sakit hati tepatnya.” Itu akan sangat konyol.

“Udah berhenti nangisnya?” Putri bertanya sambil menatapku dengan pandangan cemas. Aku hanya mengangguk tipis.

Kulepas rangkulan tangannya di pundakku dan berhenti berjalan untuk berhadapan dengannya. Putri menatapku bingung, menggeser sedikit badannya yang menghalangi jalan orang di koridor sekolah. “Gue mau minta tolong,” ucapku pelan lalu mengepal tangan, “jauhin Pangeran dari gue.”

Putri tidak menjawab apa pun. Dia hanya memegang tanganku yang terkepal, lalu menarikku ke dalam kelas. Putri segera meletakkan tas, begitu pula denganku. Saat mau duduk, suara Pangeran menginterupsi kami berdua. “Oh, An? Udah sembuh?”

Mendengar suaranya membuatku teringat akan rasa sakit itu lagi. Aku menunduk, mengabaikan kontak mata dengannya. Sementara itu, Putri memilih untuk berbicara, “lo sana deh! Ganggu! Kita mau bicara masalah penting. Hush! Hush!”

“Lo kira gue anjing?”

“Iya.”

“Kasar banget sih, Put. Gak boleh gitu jadi cewek,” Pangeran berdecak sebentar, mengerucutkan bibirnya lantas pergi bergabung bersama Budi dan kawan-kawannya.

Aku menghela napas. Bagaimana selanjutnya? Apa aku harus terus menghindarinya meskipun kami sekelas? Tapi sampai kapan?

Pelajaran pertama dimulai tak lama kemudian. Dan hampir sepanjang pelajaran Pangeran selalu menggangguku. Meminjam pulpenlah, mencari penghapuslah, meminta menyalin catatanlah, atau bahkan memberitahu bagaimana keadaan kucing yang ditemukannya semalam di selokan. Apa dia tidak paham kalau aku tak ingin berbicara dengannya?

Memang ya, cowok itu gak pernah peka.

Namun untungnya Putri selalu membantuku. Dia bahkan rela mengangkat tangan di mata pelajaran Bu Rus si guru killer dan mengatakan dengan penuh penekanan, “Bu, Pangeran gangguin kita dari tadi!” hingga akhirnya sisa setengah jam waktu pelajaran di gunakan untuk menceramahi Pangeran--–dan topiknya lari ke mana-mana hingga masalah pemilihan presiden Amerika. Jangan tanya bagaimana ceritanya bisa sampai ke sana. Karena jujur saja, aku juga tidak tahu. Yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya aku bisa ke toilet secepatnya.

Sebelum memasuki pelajaran lainnya, aku sudah tidak tahan buang air kecil. Jadi aku bangkit berdiri, menolak ajakan Putri untuk menemaniku, lalu lari terbirit-birit ke toilet.

Setelah membereskan urusanku di sana dan merasa lega, aku hendak kembali berjalan ke kelas.

Tetapi sialnya diriku ini, Pangeran ternyata berdiri bersandar di samping pintu toilet. Dugaanku tentu saja dia menungguku.

Sialan. Sialan. Sialan.

Sekarang aku harus lari kemana?

Aku mencoba mengabaikannya dan kembali berjalan. Tapi terkutuklah badanku yang lemah hingga Pangeran bisa menahan tanganku dan membalikkan badanku hingga bisa menghadapnya dengan begitu mudah. “Apaan sih?!” aku bertanya kesal.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang