"Aku benar-benar sudah tersingkir."
-----
Pintu kamar kututup dan kukunci. Punggung kusandarkan di sana, entah kenapa merasa tubuhku terlalu berat untuk ditopang dengan dua kaki. Bahkan tarikan bumi menjadi berkali-kali lipat, hingga aku hanya bisa jatuh terduduk dengan pandangan kosong.
Semuanya terlalu sulit untuk kucerna.
Seharusnya hidupku tidak sesulit ini. Dihadapkan pada Mama, Cindy, Putri, Gibran, bahkan Pangeran, membuatku merasa ingin berhenti. Benar-benar berhenti.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkannya, tapi mataku tetap bergerak untuk melihat seisi kamarku. Semuanya mengingatkan pada momen-momen berharga yang dulu membuatku tersenyum, tapi saat ini seakan sedang mencekik dan membunuhku perlahan.
Aku jarang memajang foto di kamar, tapi ada yang spesial dengan bingkai kecil di atas meja belajarku. Bingkainya tidak sejajar dengan pandanganku, tapi aku ingat jelas setiap detail yang ada di sana. Wajah Pangeran dengan cengiran super lebarnya, berdiri di antara Abil dan Reza-dengan pose menggelikan membentuk hati dengan tangan seperti grup Korea kesukaan Reza. Budi dan Siti berada agak jauh di belakang, tapi masih kelihatan manis. Wajah Gibran tampak tak nyaman dengan postur tubuh yang dipaksa menunduk-mirip dengan Putri, bedanya hanya terletak pada senyuman bahagia Putri. Yang membuat mereka berdua berpose seperti itu adalah orang yang berdiri di antara mereka, melingkarkan lengan di pundak Putri dan Gibran, lantas memaksa mereka berposisi lebih rendah. Orang itu aku. Yang berani-beraninya melengkungkan bibir.
Aku masih ingat jelas bahwa Mayalah yang mengambil gambar itu. Di kelas sepuluh memasuki semester kedua. Hari jadian Gibran dan Putri. Hari di mana untuk pertama kalinya aku melihat Gibran begitu gugup. Juga hari di mana pipi Putri merona sewarna bunga mawar yang baru mekar.
"Psst," Putri memanggilku waktu itu, agak menjauh dari kerumunan teman yang lain, "menurut lo, keputusan gue benar, kan?"
Aku menggetok jidatnya, mencibir sebentar sebelum menjawab, "lo sayang dia, dia sayang lo. Tamat. Selesai. Finish. End of story. Bye!"
"Eh, tunggu dulu, An," dia mencegatku melangkah pergi dengan menarik pergelangan tanganku, "terus, nanti kalau kita putus gimana?"
Aku mengembuskan napas kasar (mengingat itu membuatku ingin tertawa sekencang-kencangnya), memutar mata jengah lalu menjawab apa saja yang terlintas di kepalaku, "kalau putus, ya putus aja. Ngapain elo mikirinnya ribet benar?" Aku mencoba menjadi jauh lebih meyakinkan ketika melihat gugupnya tak berkurang sedikit pun. Kupegang kedua pundaknya, menatapnya mantap, "pertama, dia yang nyesal kalau lepasin elo. Kedua, dia gak bakal pernah temuin cewek lain yang lebih baik dari elo. Karena yang ketiga, gak ada orang lain yang lebih baik dari lo, kecuali gue, of course. Gue yang terbaik. Lo jadi yang ke dua aja."
Benar, kan? Itu membuat semua orang jadi tertawa. Secara tidak sadar, ternyata sejak dulu aku sudah menjadi pemisah di antara mereka berdua. Dari kalimatku tersebut, aku seakan mengatakan kalau bukan dengan Putri, Gibran akan bersamaku.
Aku benci fakta itu.
Tok, tok.
"Kak?"
Aku menarik napas bersamaan dengan memalingkan wajah dari bagian samping bingkai foto.
Awalnya kukira aku berhalusinasi, tapi suara itu masih tetap memanggilku.
Dengan paksa, kudirikan tubuh, membuka pintu, dan impulsif menarik gadis itu ke dalam kamar. Kukunci lagi pintunya sebelum memfokuskan perhatian pada Cindy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...