"sungguh, detakan di dada sama sekali tidak main-main."
-----
Aku menjatuhkan punggungku ke belakang. Napasku tersengal dan kausku basah karena keringat. Rasanya gerah, serta mencekik. Tenggorokanku seperti ingin pecah. Bahkan lantai dingin yang kutiduri sama sekali tidak mengurangi hawa panas yang mengelilingi tubuhku.
Aku merentangkan tangan, berharap bisa memberi ruang bagi angin menyelinap (tapi, sungguh, tak ada angin sama sekali). Sembari mengatur napas, aku memilih memejamkan mata. Ini latihan terakhir kami, sebelum besok tampil untuk berlomba. Satu menit yang lalu, Joshua menghentikan latihan karena panggilan masuk. Dia mematikan speaker dan mengucapkan salam menjijikkan bagi siapa pun penelepon itu. Dia bilang, “selamat sore, sayangku. Aku merindukanmu, sampai rasanya mau mati.” Ah, saat itu Reza langsung mengumpatnya, “woy, monyet! Kita lagi latihan dan lo sibuk pacaran?” (sesungguhnya aku ragu kalau itu betulan pacar Joshua. Seingatku dia masih jomblo, katanya, “gue gak boleh hanya dimiliki satu cewek. Kasihan yang lain.”) Tapi, Joshua sama sekali tak mengindahkannya. Dia hanya meletakkan jari di depan mulut, kemudian melenggang pergi. Reza kesal dan bilang akan pergi menjewer Joshua. Sedangkan Abil hanya mengedikkan bahu ketika aku menatapnya. Jadi aku langsung berbaring.
Kami berdua tenggelam dalam keheningan untuk waktu yang tidak lama. Mungkin hanya lima menit, mungkin juga lima belas menit; aku tidak tahu. Yang pasti, ingatan-ingatan tentang aku dan Abil terngiang terus menerus. Dan itu menyiksaku. Semuanya; aku yang menangis di rumahnya, juga keputusan yang kuambil untuk tetap memperjuangkan Pangeran. Tatapannya saat itu... kecewa, bukan?
Aku membuka mata, sadar kalau napasku sudah teratur dan detakan jantungku kembali normal. Kutolehkan kepala ke arahnya, mendapati bahwa dia juga sedang tiduran di lantai studio. Jaraknya terpaut dua langkah dariku.
“Bil?”
Dia hanya bergumam menjawab. Jadi aku memanggilnya lagi, “Bil?”
Membuatnya membuka mata dan menaruh atensi penuh padaku, “ada apa?”
“Lo—“ kata-kataku kupotong sendiri, untuk mempersiapkan diri sendiri dengan menarik napas, “lo kecewa, kan, sama gue?”
Abil mengerutkan keningnya tipis, “kenapa lo bilang gitu?”
“Yang waktu itu,” jawabku, “waktu gue bilang gue bakal perjuangin Pangeran. Lo kecewa, kan?”
Embusan napas keluar dengan berat dari hidungnya. Abil menggelengkan kepala pelan, “gue cuman takut, An.” Setelah mengatakan itu, dia menegakkan kepala kembali, menatap ke langit-langit dengan pandangan yang sulit dibaca.
“Lo takut apa?”
“Gue takut, teman gue bakal ngerasain sakit lagi. Gue takut, teman gue bakal nangis lagi. Gue takut—" dia menghela napas, "gue takut lo yang bakal kecewa,” dan di akhir kalimatnya, Abil kembali menatap ke arahku. “Tentang Cindy...” dia meneguk ludah, aku tahu dari jakunnya yang bergerak gelisah. Dia sudah membuka mulutnya kembali, hendak memberi ujaran akan sesuatu. Sayangnya, semua itu dihentikan oleh beberapa ketukan halus di pintu. Baik aku atau pun Abil, kami sama-sama menatap pintu itu.
Yang terbuka sedetik setelahnya, menampilkan keberadaan Pangeran dengan cengiran di wajah, juga sebuah bungkusan plastik berembun yang di angkat tinggi. Dengan santai bilang, “haus, kagak?”
Bagaimana bisa Pangeran ada di sini?
Aku tidak menjawab apa-apa. Terlalu bingung dan terkejut. Untungnya ada Abil yang sigap. Memilih duduk dan merentangkan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...