Bab 43

1.5K 88 15
                                    

"Memikirkan tentang seandainya."

-----

Aku menunjuk bintang-bintang hias yang ditempel di langit-langit kamar Allysa. Posisi kami berbaring di atas karpet merah muda, di sebelah tempat tidur. Aku menatap Abil---sudah mengganti bajunya dengan celana training dan kaus kebesaran milik Allysa (menolak keras untuk mandi sekitar sepuluh menit yang lalu). Pandangannya masih tertuju ke atas ketika aku bertanya, "kalau yang itu?"

"Itu Scorpio."

Aku mengangguk paham, kembali memusatkan pandangan ke bintang-bintang. Aku tidak ingat bagaimana topik kami berlabuh pada rasi bintang yang ternyata dibentuk begitu mirip di atas sana. Abil menjawab semua pertanyaanku dengan benar. Sejauh ini hanya nama rasi bintang tapi itu sudah luar biasa sekali. Sebelumnya aku ragu. Apa Abil memang tahu jawabannya atau hanya mengatakan zodiak dengan asal-asalan? Namun aku menepis pemikiran itu. Aku harusnya lebih memercayai Abil ketimbang otak bodohku sendiri.

"Kamu tahu banyak tentang bintang."

"Tidak," dia menggeleng, "aku hanya tahu yang umum aja."

"Umum yang kamu katakan itu sama sekali tidak aku tahu, tuh?"

Kali ini, kepalanya menoleh padaku, "kita tidak harus tahu segalanya, An."

"Tapi sepertinya kamu tahu segalanya..." Nada suaraku yang pelan semakin mengecil, barangkali habis di akhir kalimat.

"Hanya perasaanmu barang kali."

Aku ikut-ikutan menggeleng. Turut serta menoleh padanya pula. "Aku tidak pernah cerita, tapi kamu tampaknya tahu semuanya tentang aku."

"...mungkin." Butuh waktu bagi Abil menjawab dengan satu kata itu. Yang bahkan tidak memperjelas sesuatu; entah apa---apa saja. Aku tak paham mengapa aku menyimpulkan kata 'mungkin' itu sebagai sesuatu yang pasti.

"Apa Cindy yang bercerita?"

"Aku memaksanya."

Sekarang aku ikut memiringkan tubuh; menghadapnya seutuhnya. Kukulum bibirku, tanpa sadar memegangi ujung baju yang kukenakan. "Apa---" aku menghentikan diri, setidaknya untuk mengambil satu tarikan napas lagi, "apa yang kamu pikirkan saat tau?"

Dia tiba-tiba mengubah posisi menjadi sama sepertiku; hingga kami berdua saling berhadapan. Tak sampai di sana, Abil menjulurkan tangan kanannya ke pipiku. Aku linglung: benar-benar kebingungan mengapa Abil menatapku dengan begitu banyak penyesalan. Aku bimbang. Kira-kira, penyesalan apa yang dia tunjukkan?

"Seharusnya aku ada di sampingmu."

Mendadak hatiku (yang kuharap masih memiliki sisa kepingan) rontok mendengar kalimat itu. Dan kini aku kehilangan seluruh pecahan hati. Semuanya menghilang. Tak bersisa. Mungkin mereka saling menyalahkan; membunuh barangkali. Apa yang dilontarkan Abil itu benar-benar menyakitiku. Karena dia berkata jujur, karena dia bersungguh-sungguh, dan karena dia tulus.

Aku tidak pantas.

"Kenapa?"

"Karena kamu Anna."

Abil bahkan tak ragu ketika berucap. Padahal aku bertanya dengan risau. Suaraku hampir tidak keluar, ditambah hujan deras yang memekakkan telinga, Abil seharusnya tidak bisa mendengar pertanyaanku. Mungkinkah dia membaca bibirku? Kenapa dia selalu memerhatikan banyak hal yang luput dari mataku? Bagaimana bisa dia melakukan itu? Sejak kapan?

Aku tak bisa menyimpulkan apapun kecuali satu: aku masih saja buta.
Dia berhak mendapatkan yang terbaik; dia harus. Dan aku tidak akan pernah layak. Tidak kemarin, tidak hari ini, tidak esok, tidak selama-lamanya. Semestinya aku sadar diri. Lebih bagus secepat mungkin mengubur diri sendiri. Agar Abil bisa memperoleh yang sepatutnya dia peroleh.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang