"Lo pembohong, An.”
-----
Yup, penting.
Sedari tadi aku sudah penasaran akan apa yang ingin disampaikan Pangeran padaku. Kukira masalah OSIS karena dia meminta di ruang pertemuan para anggota pengurus. Tapi ternyata yang kudapati malah ini.
“Lo kan suka mainin peran di teater. Ini kesempatan baik lho, An. Siapa tau ini mungkin jalan lo buat terjun ke bidang perfilman. Kan lumayan jadi aktris,” Pangeran berkata sembari sibuk membereskan beberapa kertas. Kurasa tumpukan kertas itu untuk keperluan acara sekolah yang akan datang.
Aku menggeleng pelan, “lo ngomongnya suka ngaco. Mana mungkin gue jadi aktris.”
“Mungkin aja, An,” Pangeran masih bersikukuh dengan pernyataannya, tanpa sekalipun memberikan alasan atau penjelasan. Meskipun begitu, aku tak pernah mau terjun ke dunia hiburan. Aku tak suka bermain peran, kurasa itu semacam bukan bidangku atau apalah. Lagipula siapa yang mau setiap saat harus menjaga sikap di depan kamera, dikejar-kejar para fans fanatik, tak tenang karena ada reporter, atau kehidupan pribadi diumbar ke semua orang yang menyebabkan gosip murahan hingga akhirnya memilih bunuh diri karena dibully.
Tak ada yang mau.
Iya, kan?
“Gak ah. Malas gue,” sahutku bersikeras. Sudah cukup aku main peran saat SMP dulu. Kalau bukan karena Pangeran aku pasti tak akan mau.
“Yang bisa akting itu keren, An,” katanya saat itu. Sewaktu masih duduk di kelas delapan, dalam rangka hari sekolah, salah satu acaranya adalah menampilkan drama. Aku tidak punya ketertarikan sedikitpun. Bahkan sewaktu Abil dan Putri memaksa, aku tidak pernah mau. Namun ketika Pangeran mendatangiku dan bertanya apakah aku mau berperan atau tidak, aku merasa segan menolak. Yang kulakukan hanyalah diam seolah berpikir, membiarkan Pangeran membujuk-bujukku. “Lagian, kalau gue punya bakat akting, bakalan deh peran Peter gue yang mainin.”
“Tau dari mana coba gue bisa akting? Gak pernah ada tuh sejarahnya gue main drama.”
“Lo kan suka bohong.”
“Apaan sih?” aku menoleh, menatap dari samping wajahnya yang berubah menjadi kelewat serius. Tatapan Pangeran yang lurus ke depan terasa sedikit aneh, tak pernah sekalipun aku melihat sosoknya yang serius minta ampun seperti ini.
Pangeran balas menoleh padaku, masih tetap dengan ekspresi kerasnya itu, “iya, kan? Lo pembohong, An.”
Aku terdiam ketika ia mempertegasnya. Bingung ingin berbuat apa. Mau membantah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Seolah mulutku terkunci dan rangkaian kata itu menyangkut di tenggorokan.
Pangeran meraih tangan kiriku, menggenggamnya dengan kedua tangan lantas memainkan jari. “Gue bahkan pernah hampir kena tipu sama lo,” ucapnya lalu terkekeh pelan. Pangeran kembali menatapku tepat di mata, kali ini tatapannya berubah menjadi lembut, ada senyuman tipis juga terpampang di wajahnya.
“Lo pernah bohong ke guru cuman buat bantuin Putri, dan Ibu itu malah percaya. Pernah juga bohong sama Ketos karena lo nolong kucing yang kakinya luka--–padahal lo gak suka kucing,” Pangeran kembali tertawa kecil, berhenti setelah satu-dua detik, “tapi yang paling bikin gue tertipu habis-habisan itu sewaktu lo ketawa dan bercanda di depan semua orang padahal nyatanya lo pengen nangis dan butuh sandaran. Hari perceraian orangtua lo.”
Aku tertegun. Dia tahu? Bahkan Putri yang sudah menjadi sahabat paling dekatku saja tidak tahu mengenai hal itu--–untuk tambahan informasi, Putri tahu sehari setelah itu–--sedangkan Pangeran baru berteman denganku masih kurang dari beberapa bulan saat perceraian itu terjadi.
“Kalau aja gue gak sengaja lihat lo nulis diary, gak bakalan pernah gue tahu hal itu, An,” Pangeran menunduk dalam, “gue belum jadi teman yang cukup baik buat lo.”
Kugeleng-gelengkan kepalaku, “lo salah, lo adalah teman yang malah kelewat baik buat gue,” bantahku. Kutarik napas panjang hanya untuk mengatakan beberapa patah kata, “gue bakal daftar ikut drama itu.”
Tapi kali ini, aku sangat tidak ingin menyetujui Pangeran, “Serius, deh. Gue lebih milih bobo cantik di rumah dari pada pusingin kepala ngapal isi dialog.”
Pangeran menghela napas, mengangguk perlahan dan kembali sibuk mengurusi kertas-kertas itu. Dia diam. Kudecakkan lidahku, “ceritanya lo ngambek nih?” bertanya dengan perasaan kesal walau nadanya terdengar sangat terkontrol.
Pangeran menggeleng. Walaupun masih tetap diam. “Ran, lo ngambek sama gue?”
“Enggak,” sekarang dia menjawab sangat singkat. Aku jelas mendengar suaranya yang mengambek itu.
Kulihat jam dinding bundar yang ada di ruang OSIS, menghela napas panjang karena dua menit lagi bel akan berbunyi untuk memulai jam pelajaran pertama. “Jangan ngambek-ngambek, ah. Masa Pangeran ngambek sama Anna?”
“Hm."
“Pangeran,” panggilku mencoba membujuk. Namun lagi-lagi yang kudapati hanyalah gumaman singkat.
“Ran,” kucoba lagi. Dan untuk yang kesekian kalinya hanyalah gumaman tak berarti yang diberikan padaku.
Menghembuskan napas kasar, aku tahu dia tak akan mau terbujuk begitu saja. Menyerah adalah pilihan terbaik saat ini. “Ejaan nama gue jangan salah di formulir pendaftarannya,” kataku akhirnya lalu bangkit berdiri.
Pangeran mendongak, ada senyum lebar nan cerah di wajahnya, “serius, An?” Lihatlah anak ini, seperti bocah yang baru diberi permen saja.
Aku tak menggeleng, tak juga mengangguk. Yang kulakukan hanyalah berbalik badan, melangkah sembari melambai singkat padanya. Sok keren, ceritanya.
Hari ini, aku mengambil posisi dalam drama untuk acara sekolah –yang tidak kutahu drama tentang apa— karena Pangeran.
Lagi.
▪️▫️▪️
▪️▫️▪️
I know ini pendek, but bersabar aja sama Jeje :v
And i know, aku gak tau mau bikin judul bab ini apa. Hadi begitulah.
Jangan lupa tekan bintang :v
Bhay Bhay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...