Bab 24

561 83 10
                                    

"I love you more than you could possibly know."

-----

One, two, three,” Reza melanjutkan hitungannya sampai delapan, kemudian kembali memulai dari satu lagi.

Aku mengulang gerakan yang sama, berkali-kali sampai benar-benar hafal betul. Reza berada di posisi paling depan, dia yang paling banyak berkontribusi untuk membuat gerakan. Memang harus kuakui, sih, Reza adalah penari paling hebat di antara kami. Abil berada di sebelah kananku, dia terlihat sangat fokus. Aku meliriknya sebentar, mengamati apakah ada kekurangan dalam tariannya. Yang ternyata tidak ada sama sekali. Seperti biasanya.

Mataku kembali menatap ke arah cermin besar yang ada di dinding. Melihat kami berempat menari. Terakhir, netraku mengerling pada Joshua, adikku yang berada pada sisi lain dari Abil. Maniknya memandang lurus ke depan, dan semua anggota tubuhnya yang bergerak mengikuti ketukan hitungan Reza dengan power yang kuat.

Kupikir dia terlalu serius latihan, jadi tak mungkin menyadariku yang mencuri-curi pandang ke arahnya.

Aku salah.

Dia menoleh sedikit ke arahku, aku yakin dalam sepersekon dia sedang memikirkan sesuatu. Lantas selanjutnya, tersenyum jahil ke arahku. Aku hanya membalas dengan lengkungan bibir paksaan, sebelum akhirnya kembali menatap bayanganku di cermin.

Otakku memutar-mutar kejadian di kantin tadi siang. Joshua sudah tahu bahkan tanpa harus dijelaskan apa-apa. Dia tahu, dan yang dia lakukan hanyalah memasa-bodo-amatkan hal itu.

Between you and the world, I’ll choose you.

Itu kata-katanya. Yang dia ucapkan sambil menggenggam erat tanganku dan menyandarkan kepala pada pundakku. Yang sejurus kemudian mendongak, menatapku, juga air mata yang menetes jatuh. Tangannya terangkat, mengusap pipiku untuk dikeringkan. Lalu dia tersenyum, lebar sekali seperti Joshua yang biasanya. Dia bilang, “kak, balik, yok? Gue udah kenyang soalnya. Hehe.

Dan tidak ada sesuatu pun terjadi sejak itu.

Dia tahu aku salah. Dia tahu kejahatanku. Dan dia masih saja tersenyum untukku.

Seakan aku bukanlah pendosa.

“..Na!”

“Eh? Iya?” aku segera menoleh ke arah Reza yang berkacak pinggang. Tatapannya ia layangkan melalui cermin, sangat kesal sekarang, “fokus, dong. Lo lagi mikirin apa, sih?”

“E-enggak ada kok. Cuman agak capek aja,” balasku, menggeleng pelan sebagai peyakin bahwa hidupku tidaklah seberat itu.

Reza menatapku lebih lama sebentar, lalu menghela napas berat. Dia menatap ke arah Abil juga Joshua, “kita istirahat sepuluh menit, ya?” ucapnya lantas kembali menatap ke arahku, “gue mau bicara sama lo.”

Aku hanya bisa mengangguk pasrah.

Reza menghampiriku dan memegang tanganku, membawaku keluar. Sebelum itu, aku sempat melihat Joshua yang tampak khawatir dan membuka mulutnya ingin mencegat. Tapi aku berkata ‘gak papa’ tanpa suara untuk menghentikannya. Dia ragu selama beberapa saat, hanya saja aku sudah dibawa keluar.

Reza membawaku ke koridor gedung yang berada di ujung. Balkon yang dihalangi pintu kaca berada tak jauh dari kakiku. Dia berdiri menghadapku, menghalangi cahaya dari luar dengan tubuhnya. Aku menunggunya untuk bicara, tapi dia tidak melakukannya juga.

“Rez?”

Dia bergeming, hanya menatap kedua manikku. Ada alarm tanda bahaya berbunyi dalam kepalaku. Seakan Reza tahu. Seakan dia ingin bertanya.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang