"Aku tidak akan berbohong, aku cemburu."
-----
Saat bertemu dengan kerabat yang sudah lama tidak berjumpa, sebagian besar orang biasanya akan berpelukan atau mungkin sekedar berjabat tangan. Awalnya sih, aku sudah berniat memberikan sambutan yang hangat pada salah satu makhluk astral yang satu itu.
Jangan salahkan aku jika kata pertama yang kuucapkan setelah kehadirannya di sini adalah salah satu hewan yang ada di kebun binatang.
Bagaimana tidak? Lelaki berwujud kelinci manis itu seenaknya menendang kakiku dan menyeruput minumanku seenak jidatnya.
“Capek gua dua jam duduk terus,” katanya setelah mengosongkan bubble tea yang bahkan belum kuminum sedikit pun. Dia menjatuhkan diri di kursi di hadapanku, membiarkanku sendiri membersihkan celana berbahan denim yang kotor akibat ulah kaki dan sandal sialannya.
“Cuman duduk aja kecapekan,” ledekku padanya yang sedang melepas tas ransel besar di punggung, “cemen lu.”
“Cemen palalu!” Dia meletakkan tasnya di depan kakinya, membuka ritsleting dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang dan mencampakkannya padaku. Untung saja aku sigap.
“Paan, nih?” kuputar-putar kotak itu, menggerakkannya ke atas dan ke bawah dekat telingaku untuk mendengar isinya. Ada benda lain yang terasa sangat ringan di sana.
Cowok itu mengedikkan bahu, “liat sendiri. Bunda bilang kasih sama lo. Ayah juga titip salam katanya.”
Aku mengangguk, “salamin balik,” balasku, lekas membuka kotak itu dengan cekatan. Aku tak bisa untuk tidak terkejut kala mendapati isinya.
Mataku yang membola dan mulutku yang menganga segera kukontrol kembali. Aku mendelik pada orang yang dengan santainya masih melungguh di depan mataku ini. Kuangkat kaki kananku untuk menendang tulang keringnya. Tidak memedulikan ringisannya.
“Bunda bilang gak kalau ini harus sampai di tangan gue dengan utuh?”
Dia mengangguk.
“Bunda bilang juga gak kalau lo gak boleh ngebuka ini?”
Dia mengangguk lagi.
Kutarik napas dalam, “terus kenapa lo buka, Joshua?!”
Dia tersenyum manis, menunjukkan lambang damai dengan jemarinya, “laper. Hehehe.”
Aku menutup kotak itu lagi, memukul kepalanya menggunakan benda itu dan melemparnya ke dalam tong sampah di samping kafe. Tepat sasaran tentu saja. Soalnya jaraknya hanya beberapa langkah saja.
Joshua mengelus kepalanya, “sakit, kampret!”
“Siapa suruh lo makan kuenya? Cuman ninggalin bungkusan plastiknya doang pula! Adek macam apa kayak lo?” aku mendengkus, “jibay gue punya adek kayak lo.”
Dia mengerucutkan bibirnya, menggumamkan kata-kata cacian yang pelan. Sementara aku memperhatikan penampilannya dengan saksama.
Joshua memakai kaus putih longgar dengan celana hitam panjang; memang begitulah pakaian kesukaannya; yang kasual dan nyaman. Kalau dibilang, sih, dia tidak memedulikan penampilan. Lalu aku melihat tasnya yang besar. Modelnya seperti tas tentara, dan aku yakin isinya bisa saja tumpah jika tas itu tidak kuat.
“Lo mau nginap seminggu apa liburan setahun?” tanyaku kembali menatap ke matanya, “besar amat tas lo kayak mau pindahan aja.”
“Suka gue lah,” sahutnya lalu menutup tasnya kembali yang sempat ia lupakan, “lagian ini barangnya perlu semua.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...