“Memangnya lo bisa jadi orang jahat?”
-----
Aku, Pangeran, Abil, dan Putri menunggu di belakang kerumunan siswa yang sedang berkumpul di depan mading membaca pengumuman hasil seleksi untuk drama. Aku sih tenang-tenang saja, karena sudah terjamin aku mendapat peran--–walau bukan sebagai tokoh utama.
Abil yang sudah tidak sabaran segera mendekat, mencari celah agar bisa melihat daftarnya, namun tak kunjung mendapati. Hal itu membuat kami tertawa. “Elo gak penasaran, An?” Putri bertanya.
“Penasaran kok. Tapi apa gunanya sekarang gue nyelip di sana? Gak bakal kelihatan juga,” kujawab sembari tetap mengamati Abil yang bergeser kesana-kemari agar bisa mengintip sedikit saja.
Putri mengangguk-anggukkan kepalanya, “eh, Gibran!” suara temanku yang satu ini langsung terdengar kencang ketika mendapati presensi kekasihnya yang sedang berjalan bergerombol dengan kawannya yang lain. Tanpa permisi, Putri langsung mengebut menghampiri Gibran. Sungguh teman yang setia.
Aku beralih menatap Pangeran yang sibuk memainkan ujung sepatunya. “Ran?”
“Hm?” Pangeran bergumam sambil menoleh menatapku.
“Lo yang bilang sama Bu Eka kalau gue pernah main drama?”
Untuk sejenak, aku bisa melihat ekspresinya yang sedikit kaget. Tapi ia segera mengalihkan pandangan ke arah lain, mengusap-usap lehernya sedikit canggung, “ketahuan ya?” lalu cengengesan karena tertangkap basah.
Aku terkekeh, “gak papa lagi. Cuman semalam Bu Eka jadi kurang enak nolak gue untuk jadi tokoh utamanya.”
“Lo gak dapat tokoh utama?”
Menggeleng, aku menjawab, “memang enggak. Tapi gak masalah kok, karena jadi tokoh utama itu gak enak. Banyak banget yang harus dihapalin.”
Pangeran menganggukkan kepalanya. Tak ada lagi percakapan di antara kami.
Terkadang aku menikmati saat-saat bersamanya seperti ini. Tanpa pikiran apa pun atau gangguan apa pun. Hanya diam menikmati waktu yang kami habiskan. Karena dengan begini saja, aku sudah merasa bahagia.
Kalau dipikir-pikir, lucu juga, ya? Maksudku hati manusia. Tindakan kecil dari si dia bisa membuat kita jadi tak karuan, bahkan mungkin mendekati gila.
Aku menoleh sedikit, memerhatikan wajah Pangeran yang masih melihat ke arah kerumunan.
Boleh aku sedikit bercerita?
Ketika aku melihatnya, dunia seakan berhenti. Benar-benar berhenti. Dan yang ada hanyalah dirinya seorang. There's nothing else. Tak ada orang lain, tak ada keributan, tak ada kecemasan, tak ada kemarin atau esok. Semua yang berada di sekitarnya menjadi kabur dan semua yang kulihat hanyalah dirinya seorang.
“YESS!!” Teriakan Abil menyentakku dari lamunan, aku juga yakin Pangeran sama terkejutnya denganku. Aku kembali menoleh, mendapati Abil yang meninju udara sembari teriak tidak jelas. Abil berlari kecil mendatangi kami, “gue dapat peran utama cowoknya! Gilak banget!”
“Serius? Kalau gitu traktir ya?”
“Enak aja! Oh ya, lo gak liat daftarnya?”
Aku menggeser pandangan, kerumunan siswa sudah berkurang. Aku menyuruh Pangeran menunggu, menghampiri mading dan mencari namaku--–yang mudah kulakukan karena abjad pertama namaku adalah A. Aku mendapat peran sebagai Anasthasia, saudari tiri Cinderella. Tidak buruk juga.
Saat hendak pergi, mataku tak sengaja menangkap salah satu nama yang paling tidak kuinginkan tercantum di sana; Cindy L. H. Sebagai Cinderella. Aku menahan kekesalan yang ada di dada, jadi maksud Bu Eka kemarin adalah dia? Orang yang sama berbakatnya denganku di bidang ini adalah Cindy? Bagaimana bisa aku disamakan dengan dirinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...