Bab 18

611 87 7
                                    

"The hardest decision is deciding wether to ‘walk away’ or ‘try harder’."

-----

Aku tidak kuat sama sekali.

Papa dan Mama pergi keluar malam ini. Bersama Cindy. Untuk merayakan pertunjukan drama pertamanya. Papa memang mengajakku, tapi aku mengatakan bahwa aku sedang tidak enak badan. Awalnya Papa ingin memaksa tapi karena melihat raut wajahku, ia tidak melakukannya, kurasa. Dia juga bilang bahwa lebih baik aku diantar ke rumah sakit saja, tapi aku terus menolak dengan alasan bahwa aku hanya sakit biasa.

Papa akhirnya menyerah ketika Mama turun tangan dan mengatakan tidak usah khawatir padaku.

Kepalaku pening mengingat perkataan Mama itu. Aku jadi bingung, yang merupakan orang tua kandungku itu siapa? Papa atau Mama?

Kugelengkan kepala. Aku akan semakin pusing jika memikirkan hal bodoh itu.

Sendirian di rumah bukanlah hal yang asing bagiku. Sudah terlampau biasa dengan keadaan menyedihkan di rumah besar ini. Jika tahu begini, sebaiknya aku minta dipindahkan ke kamar kos kecil saja. Setidaknya, aku tahu tempat itu hanya akan cukup menampung satu orang.

Aku tidak menangis lagi. Rasanya melelahkan menangis tanpa henti selama kurang lebih dua jam. Mataku terasa berat dan aku ingin tidur. Sayangnya aku tak kunjung terpejam.

Jadi yang kulakukan hanyalah berbaring diam di atas tempat tidur layaknya orang bodoh.

Tunggu, bukankah aku memang orang bodoh?

Mengejar-ngejar cowok yang hanya memandangku sebatas seorang teman. Kalau saja aku tahu akan seperti ini, seharusnya sejak awal aku tak mau menjadi temannya. Hanya membawa sakit hati.

Dan itu membuatku memikirkan fakta bahwa dia tidak pernah menjadi milikku. Tapi kehilangan dirinya sanggup menghancurkanku hingga berkeping-keping.

Sibuk melamun, handphone di atas nakas berdering sembari mengeluarkan cahaya gelombang biru dari layar. Aku mengabaikan panggilan pertama. Namun benda sialan itu terus berdering.

Aku mengerang kesal saat memutuskan mengambil handphone di panggilan ke tujuh.

Kutatap layar handphone itu.

Pangeran.

Dia meneleponku. Dengan begitu mudah seolah tidak terjadi apa-apa. Bolehkah aku mengumpatinya saat ini?

Aku ingin mematikan handphone, tak ingin mendengar suaranya untuk saat ini. Tapi jariku seakan punya pemikirannya sendiri dan memilih menekan tombol hijau.

Terkutuklah tubuhku yang lebih memilih mendengarkan kata hati daripada otak penuh logikaku.

“Gue telponin kok lama ngangkatnya?” suara Pangeran tertangkap indera pendengaranku, “lo sibuk, An?”

Aku diam. Kugigit bibir bawahku, bingung harus berkata apa.

“An?”

Kini air mataku menumpuk di pelupuk, berlomba-lomba untuk terjun membasahi pipi.

“Anna?”

Bahkan caranya mengucapkan namaku masih sama seperti dulu; lembut dan penuh ketenangan.

“Anna, lo denger gue gak?”

Aku menghembuskan napas pelan, tidak membiarkan dia mendengar embusan itu. “Iya.”

“Syukurlah, gue kira ada apa-apa tadi.”

“Hm.”

“An, lo sibuk?”

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang