"Boleh gak marah sama orang tua sendiri?"
-----
Jam lima lewat sepuluh sore, aku berhasil mengusir Pangeran dan Budi dari rumah. Awalnya Abil pura-pura pulang duluan, lalu Budi dan Pangeran menyusul. Setelah keberadaan Pangeran yang sudah tak tampak lagi, Abil kembali kemari sembari mengendarai sepeda motornya dari balik sebuah rumah. Aku tak berganti baju lagi, terlalu malas untuk itu.Kami berdua pergi ke mal menggunakan kendaraan roda dua Abil. Sesampainya di sana, aku dan dia langsung memasuki salah satu toko pakaian. Di jejeran-jejeran gaun aku berdiri, sementara Abil duduk di sofa yang disediakan untuk menunggu di sana. Aku sibuk memilih gaun cantik, walau merasa sedikit kesal sebenarnya karena tak ada satu pun yang menarik perhatianku. Persediaan pakaian bagus di kamar sudah habis, rata-rata gaun-gaun itu sudah ketinggalan zaman. Bahkan gaun terakhir yang kubeli sudah berusia empat bulan yang lalu. Betapa menjengkelkan karena tak ada sedikit pun tambahan di lemari pakaian. Tanganku kembali meraih hanger dan memperhatikan setiap corak yang ada. Aku sungguh ingin tampil cantik dan berbeda dari yang lainnya. Sebenarnya kalau bisa, maunya agar hanya akulah yang memakai gaun spesial, jangan ada orang lain yang mengenakan gaun yang sama. Teringat saat ulang tahun Budi beberapa bulan lalu, aku datang ke pesta dengan dagu terangkat tinggi dan menampilkan betapa mewahnya penampilanku saat itu. Sampai Tika datang memakai gaun yang sama persis, hanya berbeda sedikit ukurannya. Aku dan Tika tak berbicara selama seminggu sejak kejadian itu, bahkan mungkin saja sampai selamanya kalau bukan karena ditengahi Pangeran.
Aku memilih menggantungkan semua pakaian pilihan di lengan kiri, sementara tanganku yang lain bebas memilah gaun-gaun lain yang masih rapi tergantung. Mengambil satu pakaian lagi, aku memutuskan untuk berhenti mencari, lagi pula tangan kiriku lelah memegangi beberapa gaun.
Segera aku beranjak dari sana menuju tempat Abil. Kuletakkan semua gaun itu di atas meja dan berkacak pinggang.
“Ini semua?” tanya Abil mengalihkan pandangan dari handphone-nya.
Aku mengangguk, “tapi kalau nanti masih ada, ya bakalan tambah.”
Abil balas menganggukkan kepalanya, kembali mengatensikan ke layar benda pipih dengan casing Batman itu. “Bawa semuanya ke ruang ganti, baru kasih tunjuk kemari,” dia bahkan mengatakan itu tanpa melihatku. Menyebalkan.
Cepat-cepat aku mengganti pakaian di bilik ruang ganti dengan sebuah gaun berwarna kuning cerah selutut dengan renda-renda di bagian bawahnya. Kutatap pantulanku di cermin setinggi badan manusia tersebut. Memiringkan sedikit badan untuk melihat bagian kanan-kiri juga belakang. Aku melirik ke tumpukan gaun yang ada di atas kursi lalu kembali menatap cermin, kemudian berdecak kesal. Terlalu banyak pilihan.
Kubuka tirai panjang berwarna pastel itu, menatap Abil yang mendongak dari dunia dalam bentuk persegi panjangnya. Aku menunggu penilaiannya selama beberapa detik, berharap jawaban manis seperti bagus atau cocok atau apalah. Namun yang kudapat malah tawa mengejek yang kedengaran aneh, “apaan itu? Renda? Gue rasa nenek gue punya yang sama di rumah, hahaha.”
Menyentakkan kaki kesal, aku kembali memasuki bilik ganti. Kali ini aku memakai gaun berwarna merah panjang sampai menyentuh lantai. Menurutku gaunnya terlihat elegan dengan manik-manik yang menghiasinya. Aku keluar dengan percaya diri, memosisikan tangan kananku di pinggang. Kali ini Abil menatapku dengan membelalakkan matanya, lalu dia melemparkan jaketnya yang entah sejak kapan dilepasnya. Untung saja refleksku lumayan, aku bisa menangkap jaket itu sebelum mengenai wajahku. Belum sempat aku memarahinya, Abil langsung berkata, “sejak kapan lo mau nunjukkin belahan dada lo?! Cepat ganti!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...