"Aku memang hanya sebatas beban."
-----
"Gibran gak pernah lagi ke sini," Mama tidak memandangku, hanya pada layar televisi dengan jari yang mengganti-ganti siaran melalui tombol remote, "padahal pertunangan kalian makin dekat."
Aku berhenti melangkah sebentar untuk menatap Mama. Tasku sudah berada di punggung sebagaimana mestinya. Abil juga sudah pulang beberapa saat lalu selepas mengantarku. Tak ada pembahasan tentang kejadian sore tadi; mengapa Abil ketakutan dan menangis. Aku memaki diri ketika justru merasa begitu lega dengan keheningan setelahnya. Dan saat ini, aku tak ingin memikirkan apa-apa tentang itu. Aku memang teman yang buruk.
"Gibran sibuk sama urusan sekolah, Ma," bohongku sembari merajut ulang langkah. Mama tak bicara apa-apa lagi tentang itu. Syukurlah.
Sampai di kamar, aku mengunci pintu. Merasa begitu lelah dan ingin tidur, tapi belum lagi tubuhku sampai di kasur, kakiku sudah tak mampu untuk berjalan sekali lagi. Aku hampir terjatuh, beruntung tanganku refleks meraih meja dan menahan diri di sana. Meja belajarku bergoyang sedikit dan berdecit. Pulpen yang tertidur di atas beberapa carik kertas dengan banyak tulisan itu segera menggelinding dan jatuh. Begitu juga dengan bingkai foto yang kini sudah teronggok menyedihkan di sebelah kakiku.
Jantungku terasa sakit dan sesak, sampai aku tak sanggup lagi menahan tangis. Pelan-pelan, aku berjongkok. Kedua tanganku berhati-hati menyentuh bingkai foto yang terbalik, mengangkatnya lalu menatap foto yang masih melekat di sana meski kehilangan hampir seluruh kacanya. Foto dimana ada Pangeran, Abil, Reza, Budi, Siti, Gibran, dan Putri... Juga aku.
Apa-apaan ini? Belum cukup dipukul dengan kenyataan, aku juga harus diberi pertanda dengan rusaknya foto ini? Aku tak butuh pertanda lain untuk tahu seberapa rusaknya pertemanan kami.
Aku menahan isakan yang keluar sembari membersihkan sisa kaca yang ada di bingkai, menjatuhkannya asal bersama kawan-kawannya yang lain. Aku bangkit berdiri, menanggalkan tas yang ada di punggungku ke atas meja belajar; menimpa kertas dengan banyak tulisan itu.
Kukuatkan kakiku mendekat ke tempat tidur. Setelahnya berbaring menghadap ke langit-langit. Mataku sudah sembab dan terasa berat. Namun aku masih berusaha menatap setiap wajah yang tercetak di sana.
Aku merindukan mereka.Sampai rasanya menyiksa sekali.
Kudekatkan foto itu ke dadaku, memeluknya seakan aku bisa memeluk mereka semua.
"...maaf..."
Bisikku pelan dan terkesan bodoh. Karena tentu saja tak akan ada yang mendengarnya selain aku... dan Tuhan.
Aku baru menyadari betapa jauhnya aku selama ini dari Tuhan. Jarang ke tempat ibadah, jarang membuka Kitab Suci, jarang berdoa dan bersyukur. Ditambah dengan perbuatan penuh dosa selama ini, apa mungkin Tuhan marah padaku? Apa mungkin Tuhan ingin memberi pelajaran untukku? Apa mungkin Tuhan memberikan semua percobaan ini agar aku sadar dan segera bertobat?
Tak apa jika memang marah dan memberiku hukuman yang pantas. Aku juga akan segera bertobat. Tapi kenapa rasanya seakan aku tak sanggup lagi?
Aku ingin beristirahat. Aku ingin semuanya berhenti.
▪️▫️▪️
"Kak?" Cindy mengambil langkah setelah kuperbolehkan masuk kamar, "kakak belum makan."
Dia meletakkan nampan di atas meja, kemudian menatapku lama karena tak memberi respons berarti. "Dimakan ya, Kak, ini udah tengah sepuluh."
Setengah sepuluh? Cepat sekali...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...