Bab 5: Pesta Dansa Cinderella

853 113 5
                                    

Pangeran tidak berdansa denganku. Pangeran lebih memilih gadis lain.

-----

Entah Mama sudah lupa atau belum, yang pasti dia terlihat cuek saja dan tidak mau tahu aku mau kemana. Hari ini ulang tahun Putri yang ketujuh belas, dia bilang pestanya akan terlaksana di rumahnya seperti biasa. Karena itulah, sejak pulang sekolah tadi aku langsung buru-buru cepat pulang ke rumah dan bersiap untuk pergi.

Mandi, memakai gaunku, dan mengenakan riasan wajah yang tidak setebal bedak tante-tante yang ingin arisan. Lagipula aku tak mau memakai make-up tebal. Duh, aku sudah cantik dari lahir.

Jam masih menunjukkan pukul 15:18 tapi Reza sudah datang menjemputku dengan menggunakan mobilnya. Biar kata dia kembaran Mimi Peri, jangan ragukan mobil miliknya yang berkebalikan dengan sifatnya itu. Coba saja Pangeran yang memakai mobil keren milik Reza, sudah dapat dipastikan aku akan kejang-kejang melihat dia setiap keluar dari mobil dengan efek slow-motion yang diatur tanpa sebab di kepalaku.

“Anna! Cepetan pake sepatunya! Nanti Putri marah kalau kita terlambat, ih!” kudengar suara cempreng melebihi kuntilmamak yang dirumorkan sering nongkrong di pohon nangka milik Kang Mamat yang ada di depan kompleks. Reza masih setia duduk di kursi kemudi, hanya menurunkan kacanya agar aku mendengar suaranya itu. Kuabaikan teriakannya, fokus menyelesaikan sepatuku yang berhak tujuh senti ini. Sekali lagi, aku memeriksa isi tas kecilku, memastikan bahwa benda berharga bernama smartphone itu sudah diam manis di dalam.

“Anna pergi ya, Ma!” teriakku dari teras rumah yang hanya dibalas ‘iya’ singkat oleh Mama. Aku berlari kecil menghampiri Reza. Aku mudah bergerak gesit walau memakai hak tinggi (kalau tujuh senti belum terlalu tinggi untukmu, terserahlah. Siapa pula yang tahan berdiri dengan sepatu berhak lebih dari tujuh senti?!), sudah terlalu biasa memakai sepatu seperti ini sejak dulu.

Tak ada perbincangan antara aku dan Reza. Kami berdua sama-sama sibuk menjalani kegiatan masing-masing; aku dengan handphone dan dia mengemudi. Sampai tak terasa kalau dia sudah memarkirkan mobil di halaman depan rumah Putri. Keluar dari mobil, sudah terdengar jelas suara musik mengalun, dengan lampu-lampu hias yang digantung cantik di bangunan rumah atau di pohon. Sudah banyak juga kendaraan di sana terparkir dengan beberapa anak sedang asyik mengobrol ria. Aku dan Reza segera masuk rumah, langsung menghampiri kamar Putri yang ada di lantai dua. Pintunya kubuka tanpa kuketuk dahulu, mendapati beberapa orang yang sudah ada di dalam. Putri sedang didandani oleh salah seorang karyawan salon yang disewa, tampak dari seragam yang dikenakan wanita berumur pertengahan dua puluh tahun itu. Ada juga Gibran yang tiduran di kasur memainkan game bersama Budi, ada Maya dan Siti sedang duduk di kursi membaca majalah.

Reza langsung nimbrung ke dekat Budi dan mengeluarkan handphonenya dan ikut bermain. Aku menghampiri Putri, menggeser kursi agar lebih dekat dengannya, “Pangeran belum datang?”

Aku dapat mendengar decakan yang dihasilkan Putri, “bukannya nyapa dulu, malah nanya doi.”

“Hai, Putri!” ulangku dengan nada bersemangat yang dibuat-buat, “udah, kan? Sekarang balik ke pertanyaan tadi.”

Menggeram, Putri melakukannya sembari memutar bola mata kesal, “belom, dia bilang belum bungkusin kado sama gue.”

Kuangguk-anggukan kepalaku, “oh, betewe nanti acaranya kayak biasa?”

Dia menggeleng, “bakal ada pesta dansa,” dia berbisik lalu mengedipkan sebelah matanya padaku, “ide gue bagus, kan?”

Aku terkekeh. Putri memang selalu memiliki ide cemerlang. Licik juga sih. “kalau gak muat gimana? Lo ngundang satu sekolahan, lho. Belum lagi sama anak sekolahan lain, sama tetangga juga.”

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang