The Stars, The Moon, and The Fall.Aku mengingat Abil setiap kali kepalaku mendongak ke atas: pada langit malam yang dipenuhi bintang. Dulu, saat semua belum berubah: saat tidak ada vas pecah, tamparan, atau tangisan, ketika aku menangkap cahaya bintang, aku selalu memikirkan tentang harapan dan mimpi dan andai. Tapi sekarang, aku sudah lelah berharap, sudah bangun dari mimpi, juga sudah bosan berandai-andai.
Apa Abil akan tetap melihat bintang dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya setelah malam ini?
Ah, aku juga teringat Gibran dan Putri, dan perjodohan, dan tangisan Gibran sembari memelukku. Setelah malam ini---atau mungkin mulai malam ini, keduanya bisa menatap bintang-bintang lagi sambil bilang bahwa mereka cantik. Padahal, aku bisa melihat kebahagiaan mereka jauh lebih cantik dari segalanya.
Reza juga datang malam itu untuk menemani Putri. Tadi siang, ketika tahu aku tak masuk sekolah, dia mengirim sebuah pesan singkat padaku. Sejujurnya, aku sedikit senang karena itu. Maaf, An. Gue masih kebingungan. Aku tahu dia sedang memendam marah, tapi sepertinya masih menganggapku seorang teman. Aku tidak membalas pesan itu. Sebab isi surat yang akan diterima Reza sudah merangkum semuanya.
Aku penasaran dengan Pangeran. Bagaimana reaksinya nanti setelah membaca suratku---yang paling singkat di antara semuanya. Hanya tiga kalimat. Terlalu pendek untuk bisa disebut isi hati. Hanya saja aku tak sanggup menggerakkan tanganku lagi. Suratnyalah yang terakhir kutulis, dan kurasa aku kehilangan semua kemampuan dan tenagaku. Semoga saja dia tahu bahwa aku benar-benar tulus dibalik tulisan cakar ayam dan banyak tetesan air mata yang membuat kertasnya kusut.
Aku menunduk ketika ponselku memainkan dering standar. Meraihnya, lalu mematikan alarm. Abil memberinya semalam. Sebelum kami berbicara tentang bintang. Dia bilang, Cindy menitipkannya. Kubuka aplikasi pesan untuk mengetik satu kalimat.
Sudah selesai?
Dan balasannya cepat.
Lima menit yang lalu.
Kuketik lagi, terima kasih. Aku akan mengirim uangnya. Lalu aku menerima pesan emoticon jari oke. Aku mengirim uang dengan nominal perjanjian tadi pagi melalui aplikasi. Dia bukan seseorang yang khusus. Hanya anak sekolah lain yang tak sengaja kutemui di jalan. Aku memintanya melakukan pekerjaan ini padaku. Mengirim semua surat itu pada pukul sembilan malam.
Baguslah.
Aku mematikan mode pemblokiran nomor yang kunyalakan sesaat setelah keluar dari rumah Allysa. Aku tahu mereka akan mencari dengan panik. Tapi aku tak bisa bilang kalau aku sedang bersembunyi. Di salah satu perpustakaan anak yang hanya punya buku dongeng dan pelajaran sekolah dasar. Selama seharian untuk menenangkan diri dan meminta pertobatan.
Aku melihat ratusan panggilan dan pesan dari Abil, Allysa, juga Cindy. Ada yang baru beberapa detik lalu.
Kumohon, An.
Itu dari Abil.
Pesan lain masuk, jangan pergi sendiri. Setidaknya ajak aku bersamamu.
Masih dari Abil.
Abil tahu.
Abil tahu aku tengah menyiapkan diri untuk menyerah. Dia tahu inner demonku adalah pemenangnya. Sedangkan aku baru sadar kalau sejak awal, dia tahu tentang ini. Dia tahu segalanya. Itulah mengapa dia selalu berusaha menghiburku, selalu mencariku dengan kecemasan luar biasa, dan tak membiarkanku sendiri. Dia memerhatikanku. Mengawasiku. Peduli padaku dan tak meninggalkanku di saat yang lain pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...