"Lo perlu banyak makan biar pipinya enak dicubit."
-----
Tidak terjadi apa-apa. Aku menekannya di dalam otak dan hatiku; bahwa di antara Pangeran dan Cindy tidak terjadi apa-apa. Mungkin Cindy yang meminta-minta Pangeran berdansa, dan karena tak tega, akhirnya Pangeran menyetujuinya. Secara Cindy itu kan suka mencari perhatian, dan Pangeran adalah cowok paling baik hati di dunia. Jadi, mungkin dia kasihan pada Cindy. Iya, pasti begitu ceritanya.
Hari ini aku memutuskan bersekolah seperti biasanya. Kumasuki kelas dan mendapati Putri yang sedang buru-buru menulis di bukunya. Ada Gibran juga di sana, duduk di kursiku sembari memakan makanan kemasan tidak sehat. Lihat ini, hanya sehari saja aku tidak datang dan Gibran sudah menjadi penggantiku. Aku mendengus kesal, berjalan mendekat dan meletakkan tasku di atas meja, “gue rasa pemilik kursinya belum mati,” kataku dengan nada sinis.
Gibran hanya sekilas menatapku, lalu dia melanjutkan makannya. Kalau saja ada pisau di tanganku sekarang, pasti lehernya sudah kugorok. Sedangkan Putri tetap fokus mengerjakan kerjaannya, “udah siap pr ekonomi, belom?” tanyanya santai.
Aku mengerutkan keningku, “pr apaan?”
“Ekonomi, An. Yang sepuluh soal itu. Panjang-panjang lagi jawabannya,” Putri menjawab tanpa melirikku sedikitpun. Lantas saja aku membulatkan kedua mata mendengar hal itu, mengusir Gibran dengan mendorong tubuhnya sampai ia hampir terjatuh.
Secepat kilat, aku menyalin semua tugas-tugas itu. Tanganku sungguh pegal.
Gibran yang melihat itu hanya berdecak, lalu ia bergabung dengan Reza dan yang lainnya. Baru saja menulis dua soal, Abil yang baru datang langsung bilang, “ngapain ngerjain pr lo berdua? Bu Astri gak datang kok.”
Aku dan Putri sama-sama mendongak, “lo serius?” Putri yang bertanya.
Abil menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “dua rius malah. Tadi gue dengar sendiri kok."
“Lo gak bohong, kan?” aku menatapnya dengan pandangan menyelidik. Walaupun Abil anak baik-baik, dia itu sering jahil, apalagi sama anak cewek.
Abil mendengus, “gak percaya ya udah, lagian lo sendiri yang capek ngerjainnya.”
“Coba aja informasi lo gak akurat, gue bacok, ye?” Putri memilih meletakkan pulpennya dan menutup bukunya, aku pun melakukan hal serupa. Abil segera bergabung dengan yang lain, sementara aku bangkit berdiri, “kantin yo?” ajakku pada Putri, “sehari gak makan mi Bu Fatmah bikin gue rindu.”
“Gak waktu istirahat aja? Emangnya lo gak sarapan?”
“Sarapan, tapi masih laper,” aku hanya bisa cengengesan ketika Putri menggelengkan kepalanya. Namun, Putri juga ikut berdiri, menggandeng tanganku dan berjalan ke kantin bersama. Putri memesankan makanan, sementara aku memilih duduk di meja bundar tempat kami biasa nongkrong. Menunggu pesanan tiba, aku melihat seisi kantin. Belum terlalu ramai karena ini masih pagi, palingan hanya ada beberapa anak yang belum sarapan atau hanya sekedar menumpang bokong sebentar.
Dari sini, aku melihat Cindy sedang berjalan bersama Maya, adik sepupu Putri. Aku mendengus, bisa-bisanya Maya mau berteman dengan gadis seperti Cindy. Membuat orang yang melihatnya merasa kesal saja.
Tapi sayangnya, tak hanya itu yang membuatku marah.
Melainkan presensi Pangeran yang berlari menghampirinya, memegang tangannya, dan membalikkan tubuhnya. Pangeran juga tersenyum lebar.
Maya pergi dari sana, untuk memesan makanan--–atau lebih tepatnya membiarkan mereka berdua. Dadaku bergemuruh, seakan ada yang sedang memompanya dengan sangat kuat hingga terasa sakit. Aku juga merasakan napasku yang memburu dan tubuhku memanas. Apalagi saat melihat Pangeran tertawa lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...