"Sejarah mengajar kita banyak hal."
-----
Sepulang sekolah, aku langsung mencapai rumah secepatnya. Bahkan tak mau berlama-lama hanya untuk sekedar menunggu Putri selama lima belas menit piket membersihkan kelas, lagian dia punya Gibran yang siap menemani dan jadi sopir kedua setelah Pak Ben.
Dengan senyum lebar di wajahku, kumasuki rumah dan menghempaskan diri di sofa. Pangeran bakal kesini, Pangeran bakal kesini. Percayalah, kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku selama di sekolah dan masih berlanjut sampai sekarang. Seakan-akan kalimat itu adalah mantra yang menyihirku dengan kuat. Memang benar sih.
Saat bangkit berdiri, barulah aku menyadari sesuatu. Sebuah pajangan foto persegi panjang berukuran lumayan besar berada di dinding ruang tamu mengingatkanku. Itu foto pernikahan Mama dan Papa, serta aku dan Cindy yang ada di samping mereka. Kubulatkan mataku terkejut, tak menyangka aku sebodoh ini.
Saat itu pula kedengaran suara mobil berhenti di depan rumah. Jantungku serasa bermaraton sekarang. Aku berlari menuju pintu depan, dari ekor mataku tampak banyak foto kami sekeluarga dan foto potret diri. Ini gawat!
Kuintip dari balik jendela siapa yang datang. Sebuah taksi terparkir dengan baik di depan sana. Janji kerja kelompok adalah jam tiga, sekarang masih jam dua, seharusnya masih aman. Tapi sekedar jaga-jaga saja, aku mengawasi dengan gugup, soalnya Pangeran itu tak bisa diprediksikan. Dia bahkan pernah datang dua jam sebelum janji temu hanya karena alasan bosan di rumah.
Saat kulihat Cindy-lah yang keluar dari taksi, hatiku sedikit merasa lega. Namun detik selanjutnya, kembali khawatir. Masih banyak bukti keberadaan Cindy di dalam, dan orangnya juga di sini. Apa yang akan mereka katakan kalau melihat semua ini? Sungguh Cindy itu pembawa sial sekali.
Kubuka pintu rumah saat Cindy melangkah masuk melewati pagar. Dia tampak terkejut tapi kembali menetralkan ekspresinya. Kadang aku ingin tertawa karena itu. Dia benar-benar seorang ratu drama —pandai sekali berakting, meski tak sebagus aku. “Eh, lo gak ada kerjaan, kan?” Bukan sebuah pertanyaan sebenarnya, lebih mengarah pada paksaan kalau dia tak boleh memiliki kesibukan dalam bentuk apa pun.
Cindy mengangguk.
“Bagus. Temen gue mau datang dan gue minta lo beresin rumah. Jangan ada satupun foto elo di dalam, dan elo gak boleh kelihatan di mata mereka. Ngerti?”
“Tapi, kenapa, Kak?” tanyanya pelan.
“Suka guelah. Elo siapa ngenentang?” aku paling malas kalau Cindy banyak bertanya, sejak pulang dari luar negeri dia semakin kelewatan saja. Coba bayangkan perbandingan dia yang dulu langsung patuh asal disuruh dan dia yang sekarang selalu bertanya di setiap tugas yang kuberikan. “Gue gak mau temen gue tahu kalau ternyata gue punya adik tiri gak becus kayak elo! Mau ditaruh di mana muka gue kalau semua kebongkar?” Setelah mengatakannya, kembali aku masuk ke dalam rumah menuju kamar. Berganti baju secepat mungkin dan kembali turun melihat kerjaan si Cindy. Dia masih sibuk mengambil semua bingkai foto yang ada dirinya dan disembunyikan ke dalam kamar utama, karena lebih dekat mungkin. Bodolah, aku juga tak peduli alasannya, yang penting keberadaannya tidak diketahui. Daripada melihatnya bolak-balik, aku lebih memilih mengambil buah jeruk dari dalam kulkas dan duduk santai di ruang keluarga. Menonton drama Korea kesukaanku yang sudah dijadwalkan tayang.
Baru saja setengah jam terlewat, handphone milikku yang ada di atas meja kaca bergetar hingga menghasilkan bunyi yang lumayan nyaring. Kubuang biji jeruk yang ada dalam mulut ke tangan kiri yang penuh ampas jeruk, melihat apa yang benda persegi panjang tipis itu terima. Ada satu pesan dari Pangeran: An, gue lagi di depan kompleks rumah lo. Ada yang jual sate. Mau gak? Bayar tapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...