Bab 8: Larangan Untuk Cinderella

709 91 4
                                    

"Namanya Cindy Lella, masa tadi gue kiranya Cinderella."

-----

"Eh, Putri mana?" tanyaku pada Tika yang sibuk bermain game online di handphone miliknya. Dia menggeleng, menjawab bahwa ia tidak tahu. Jadi aku kembali duduk ke kursiku dan meletakkan kepala di atas lipatan tangan di atas meja. Aku merasa bosan tanpa kehadiran makhluk gaib yang merangkap menjadi temanku itu. Aku bertanya-tanya, apa dia juga merasakan hal yang sama saat aku tak datang sekolah?

Huh, sudah dua puluh menit berlalu, artinya bel masuk akan berbunyi sekitar lima menit lagi. Awas saja kalau dia berani meninggalkanku sendiri di sini hari ini.

Kutunggu-tunggu kehadirannya, tapi ketika bel sudah bergema pun, dia tak kunjung datang. Aku menggerutu, bangkit menuju lapangan untuk menjalani apel pagi. Yup, sendirian.

Aku ingin mempertegas sesuatu di sini. Meskipun aku merupakan murid yang populer, namun Putri dan Pangeran merupakan dua orang yang paling dekat denganku, lalu selanjutnya ada Reza, Budi, Siti, Gibran dan Abil. Jadi meski banyak yang mengenalku dan banyak yang kukenal, aku tetap lebih suka menghabiskan waktu bersama para berandalan itu dari pada dengan orang lain. Hal itu sudah mendarah daging, seperti perasaan curiga yang selalu menempel. Kecurigaan bahwa mereka yang mendekati hanya ingin mencari untung saja, popularitas, traktiran, atau yang lainnya. Dulu pernah kejadian saat aku SMP tingkat akhir, salah satu dari temanku -mantan teman maksudku- pernah melakukan hal yang sama, dan dengan bodohnya aku selalu percaya. Ya, sampai akhirnya Putri menyadarkanku dan mempertunjukkan bukti paling wow yang pernah kulihat. Video gadis itu, sedang menggosip dengan temannya tentang betapa kerennya dia mengelabuhiku dan betapa bodohnya aku memberikan uang yang banyak. Wah, wah, wah, belajar dari pengalaman tak masalah, kan?

Karena itulah, tanpa kehadiran mereka aku akan merasa sendirian di tengah keramaian.

Astaga, aku mulai mengikuti jejak kealayannya Reza.

Kugelengkan kepalaku, apa-apaan pikiran itu? Aku kembali melangkahkan kakiku, merasa bosan menjalani rutinitas yang sama setiap pagi. Tak ada yang bisa kuajak mengobrol, Pangeran dan Putri belum datang, Budi sedang berduaan dengan Siti, Reza seperti biasa lari ke kelas lain untuk menggosip dengan para cewek, sedangkan Abil tak tampak batang hidungnya.

Ah, sialan.

Aku tersentak ketika sebuah tangan mengalung di pundakku. Kutatap si empunya dan mendengus kesal, "ngagetin aja!" kataku, "mau ngapain?"

Reza mendekatkan bibirnya ke telingaku, "lo tau gak apa info keren yang gue dapat?" Aku menggeleng tak tertarik. "Bentar lagi bakalan ada pentas seni buat perayaan sekolah, ya kan? Dan salah satu acaranya adalah drama!"

Aku mengedipkan mata beberapa kali, "terus?" tanyaku setelah tak mendapati apa faedah hal tersebut denganku.

Reza mengeluarkan teriakan yang diredam dengan posisi tubuh seperti ingin menerkam mangsa, "lo gimana si, An?! Seharusnya elo senang denger itu dan cepat-cepat mendaftar sama Bu Eka!"

Kugelengkan kepalaku, "buat apa? Buang-buang waktu, duit, sama tenaga doang. Mendingan gue stay di rumah nonton pilem."

"An, bukannya dulu lo suka main drama ya?" Reza melepaskan tangannya, berpindah posisi agar berhadapan denganku, "dulu lo pernah dapat peran jadi Wendy, kan?"

"Iya," kataku membenarkan hanya untuk pertanyaan apakah aku pernah dapat peran Wendy, "tapi itu kan dulu, waktu kita masih kelas delapan. Sekarang beda cerita, Rez."

Reza menggeleng-gelengkan kepalanya, "cepat amat lo berubah. Kayak power rangers aja." Kemudian dia pergi menuju barisan, aku mengikut dari belakang dan segera meluruskan posisiku.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang