Bab 10

615 92 4
                                    

"Pangeran melakukannya untukku?"

-----

Kalau aku ditanya apa salah satu hal paling menyebalkan yang pernah ada, jawabannya adalah ujian dadakan.

Dan beberapa saat yang lalu, kami baru saja selesai ujian dadakan Matematika. Sudah dipastikan, nilaiku akan hancur lebur, jatuh menukik ke bawah karena efek tarikan gravitasi kebodohan. "Hah!!" aku berteriak kesal.

"Udahlah, mau gimana pun nilai lo gak bakal berubah," Putri mendengus kesal. Mungkin lelah mendengar rengekan mengenai nilai yang akan jatuh.

"Tapi kan seharusnya kita dikasih tau," aku masih tetap tidak terima dengan kejadian seenaknya guru mata pelajaran Matematika itu.

"Mau dikasih tau apa enggak, emang nilai lo bisa berubah?"

"Kagak, sih. Tapi kan gue bisa nyiapin contekan dulu hehe," jawabku sembari cengengesan. Putri berdecak kesal, menjitak kepalaku sampai aku mengaduh. Dia belum mengeluarkan kata-kata mutiaranya karena pengumuman dari pengeras suara yang ada di dalam setiap kelas dan beberapa lokasi lainnya menghantarkan suara lembut Bu Eka, guru seni yang masih berusia muda.

Pengumumannya mengenai semua siswa yang akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan drama untuk acara sekolah diminta berkumpul di ruang musik. Jangan tanya aku kenapa disuruh di sana.

"An, ayo cepat!" suara Abil membuatku menoleh seketika.

Mengerutkan kening aku bertanya, "ke mana?"

"Ruang musiklah, An, ke mana lagi?" Abil menjawab, terlihat sebal.

"Lo ikutan?"

Dia mengangguk, "pengen tampil sekali-kali. Lagian ini acara tahunan sekolah terakhir kita sebelum lulus, buat kenang-kenangan aja, sih. Kan sayang kalau gue gak ikut partisipasi. Kata kakak gue, ini kesempatan bagus. Kalau bisa, mungkin gue bisa jadi aktor sekelas Brad Pitt. Terus jadi terkenal dan kaya. Punya uang buat beli mobil sama rumah. Sekalian, gue kasih lo rumah juga. Biar lo punya tempat untuk pulang."

"Gue nanya lo ikutan apa kagak, jawabannya gak usah sampai ke akar-akarnya, Bil," terkekeh, aku mengikuti langkah Abil setelah berpamitan dengan Putri.

Di ruang musik, beberapa siswa lainnya sedang menunggu, berbincang-bincang dengan kawan atau hanya diam saja. Kulihat ke dalam, piano yang biasanya terpajang megah di tengah ruangan kini sudah dipindahkan ke sudut, begitu pula dengan alat-alat musik lain. Beberapa kursi disusun sebagai tempat duduk partisipan. Aku dan Abil duduk bersampingan di barisan paling depan ujung kanan.

Tak butuh waktu lama, Bu Eka sudah bergabung bersama kami dan menyuruh semuanya untuk duduk. Dia berbicara tentang banyaknya siswa yang ikut dibandingkan target yang diharapkannya. Aku tak konsentrasi mendengar, yang kuputar di kepalaku hanyalah kronologis mengapa aku bisa mengikuti kegiatan ini lagi.

Pangeran bodoh.

Kalau saja bukan karena sikutan Abil yang kuterima, aku pasti masih terlarut dalam lamunan tidak penting itu. Aku menoleh, "apaan?" bisikku.

Dia mendekatkan bibirnya, "gue tanya, lo setuju gak seleksinya langsung hari ini?"

"Seleksi apaan?"

"Seleksi buat dapat perannya lho. Lo gak dengar apa pun yang dibilang Bu Eka tadi?"

Gelengan poloslah yang kuberikan padanya. Abil jadi menggeleng-gelengkan kepalanya, tampak tidak percaya dengan apa yang kulakukan, "lo gimana sih, An? Gak pengen dapat perannya?"

Sekali lagi aku menggeleng, "emang enggak."

"Terus kenapa ikut?"

Aku tak mendapatkan alasan apa pun yang bagus yang bisa kukatakan padanya, namun aku diselamatkan oleh perkataan Bu Eka yang kami dengar, "mulai dari belakang maju ke depan. Satu-satu dari kalian coba membaca dialognya lalu praktikkan , mengerti?"

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang