Bab 27

584 80 4
                                    

"Hanya ada kau dan aku"

-----

Baby! Why don’t you just meet me in the middle!” secara serentak, suara semua orang yang ada di dalam mobil keluar. Yeah, meskipun dengan cukup memalukan—tambahan; hanya bagian reff yang bisa kami nyanyikan. Bang Raja menyenandungkan suara ‘ahh-ohh’ panjang dan melengking, sampai-sampai wajahnya memerah (aku berharap dia masih bernapas). Gadis di sampingnya menyanyi dengan suara yang centil dan sok halus. Tampak sekali pencitraan (Jangan salah, aku yakin seisi mobil memikirkan hal yang sama, termasuk bang Raja sendiri yang merupakan pacarnya).

Abil mengeluarkan suaranya dengan lembut dan tinggi—dia memang pandai menyanyi meskipun Joshua selalu mengejek dengan meniru dan membuatnya terdengar jauh lebih lucu. Di sebelah kananku, Pangeran hebat seperti biasa; suaranya memang bagus dan berat—seksi kalau kata setan. Di bagian belakang, Maya teriak-teriak tak karuan, seirama dengan suara Reza yang dipaksakan, bersama Joshua yang diapit di tengah, menutup kedua telinga, tapi ikut bernyanyi kencang.

Ah, kenapa kami bisa ada di sini?

Pangeran menelepon bang Raja untuk menjemput mereka dari sekolah setelah melakukan aksi nakal melompati tembok pembatas belakang sekolah. Setelahnya, menghampiri kami di kafe dan makan sebanyak yang bisa ditampung dompet bang Raja (dengan paksaan keras tentu saja). Tapi namanya juga Raja Pramana, hematnya lebih parah dari anak kos di akhir bulan. Dia menghubungi Cherry, salah satu pacarnya untuk diajak ke kafe. Dengan sedikit rayuan manis dan janji penuh omong kosong, bang Raja mendapat lagi pemasukan untuk dompetnya yang sempat menipis.

Ah, jangan salah. Bukan Cherry yang duduk di samping bang Raja saat ini. Tapi Laura, pacarnya yang ke empat belas—atau enam belas? Aku lupa. Dia ada di sini karena dengan liciknya, bang Raja membawa kami ke tempat kerja sampingan si Laura—yang notabenenya merupakan anak dari salah satu pemilik tempat wisata yang ingin kami kunjungi. Bang Raja melakukan aktingnya dengan mulus, semulus paha Bae Suzy katanya (pertama dia mengusir Cherry secara halus; mengatakan bahwa dia harus mengurus kami, kalau tidak, tante akan membunuhnya. Muka Cherry langsung masam, tapi dia pura-pura memahami dan pergi langsung dari sana. Selanjutnya, bang Raja menelepon Laura, bilangnya rindu, mau ketemu. Eh, dia ngajak Joshua bohong juga—buat biar makin meyakinkan. Joshua bikin muka rewel, minta diajakin jalan-jalan. Terus bang Raja buat muka bersalah, bilang gak ada duit. Sangking cintanya si Laura ini—aku berpikir dia sudah terlalu dalam terjerat dan menyandang sebutan bucin—dia nawarin ke tempat wisata milik bapaknya).

Jadi, di sinilah kami sekarang. Bernyanyi layaknya orang kesetanan di dalam mobil. Putri dibonceng Gibran menggunakan sepeda motor milik Abil, begitu pula dengan Budi yang membawa Siti di jok belakang kendaraan roda duanya. Mereka berada tepat di sebelah kanan kami, peluk-pelukan sambil mengobrol ringan. Tidak tahu malu, padahal masih pakai seragam sekolah.

Tak butuh waktu yang lama, kami sampai di tujuan; salah satu destinasi yang diincar wisatawan. Aku kesulitan mengingat namanya; sepertinya itu sesuatu seperti Love Rest?—hmm, tempat peristirahatan cinta? Entahlah, bodo amat. Karena bagaimana pun juga, informasi itu tidak penting.

Si Laura mengurus tiket masuk kami bersama bang Raja yang melempar-lempar gombalan receh agar kekasih ke sekiannya itu senang. Pangeran berdiri di sampingku, “kapan terakhir kali lo ke laut?”

Aku menatapnya, dan dia balas menatapku; aku merasa sedikit canggung, tapi rasa nyaman itu tetap ada—seakan-akan Pangeran memiliki raksi memikat yang menenangkan. Aku meniti ke dalam matanya. Mereka tetap sama. Tidak berubah sedikit pun sejak pertama kami bertemu—sejak pertama aku jatuh cinta. Cara dia memandangku masih seperti dulu. Seperti memandang seorang...  teman.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang