Bab 26

639 80 6
                                    

"Loh? Papa mau ke mana?"

Aku memasuki kamar Papa dan Mama, sedetik yang lalu menangkap bayangan pria separuh baya itu sedang mondar-mandir. Ternyata dia sedang memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper hitam berukuran sedang miliknya.

Papa Bram berbalik. Dia mengembuskan napas berat sembari tersenyum dengan ekspresi bersalah. Papa menghampiriku setelah meletakkan kaus terakhir. "Maaf, sayang, Papa harus ke luar negeri."

"Ke luar negeri?"

"Iya, Papa mau ke London."

Yang menyahut bukan Papa lagi. Tapi wanita yang sampai sekarang masih kupanggil Mama. Dia datang memasuki kamar, dengan sebuah kaus kaki hitam di tangan.

"Urusan kerja, Pa?" tanyaku lagi. Kini mencoba mengangguk memahami.

"Iya, sayang. Maaf, ya, Papa gak bisa datang hari ini."

Aku hendak menjawab bahwa aku tak terlalu mempermasalahkannya. Tapi Mama lebih cepat. Dia bilang, "ya gak papalah, Pa. Lagian mulai dari dulu juga kamu kan sudah sering nonton dia lomba. Jangan manja, An."

Aku bahkan tidak merengek apa-apa.

Tapi berdebat dengan Mama akan membuat kepalaku pusing dan dadaku terbakar. Jadi aku menganggukkan kepala sedikit. "Hati-hati di jalan, Pa," kataku, "Anna berangkat sekolah duluan, ya?"

Setelah melihat Papa memberi anggukan kecil---juga mencuri pandang pada Mama yang sibuk mengancingkan koper---aku keluar dari kamar. Langkahku membawaku ke dapur, awalnya berniat minum tapi malah mendapati sosok paling tidak ingin kutemui.

Cindy, gadis itu sedang mengunyah roti ketika menyadari keberadaanku. Dia segera menunduk dalam dan mengunyah lebih lambat. Aku tidak peduli dengan itu. Tapi melihat wajahnya sudah membuatku muak. Jadi aku berbalik karena sudah tidak berselera.

Aku berjalan ke beranda depan. Duduk untuk memakai sepatuku. Setelahnya, berjalan ke samping rumah untuk mengambil sepeda yang lumayan jarang kugunakan. Joshua sudah pergi sepuluh menit lalu. Dia dijemput seorang teman barunya di depan kompleks. Jadi, aku berangkat sendiri.

Tapi, masih baru beberapa langkah, Mama sudah menghentikan pergerakanku.

"Anna!"

"Iya, Ma?"

"Kamu naik bus atau angkot saja sana."

Aku mengerutkan kening, bingung mengapa Mama bilang begitu. "Tapi, kenapa?"

"Biar lebih cepat, An."

Dan dengan bodohnya, kupikir... Mama sudah sedikit peduli padaku. Bahkan aku sudah tersenyum kecil dan mengangguk pelan kala mendengar jawabannya itu.

Nyatanya, hanya menimbun semakin banyak kemarahan dalam dada.

"Lagian Cindy mau naik sepeda. Dia sudah bilang sejak semalam."

Tanpa sadar, aku meremas setir yang kugenggam.

Jadi, semua karena Cindy? Bukan karena Mama membuka mata pada anak kandungnya sendiri?

Haha, lelucon macam apa ini?

"Cindy kan punya sepeda sendiri, Ma," balasku lemah.

Mama menggeleng, "bannya bocor. Sudah, kamu naik angkot saja. Di depan kan banyak yang lewat."

Darah mendengung dalam telingaku. Aku ingin sekali Mama berhenti bicara untuk saat ini. Semua perkataannya hanya bisa memberi tusukan tajam pada hati. Yang kutahu, terlalu sulit untuk disembuhkan.

"Kenapa bukan Cindy aja yang naik angkot?"

Lagi, Mama masih bersikeras. Dia selalu memilih Cindy. "Kamu pelit banget, sih, sama adik sendiri. Tinggal jalan bentar ke depan saja malasnya minta ampun."

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang