"Tapi kalau gak ada lo gak asyik, An."
-----
Aku ingin tidak sekolah. Ketika sampai rumah semalam, aku langsung memasuki kamar dan tidur walau gaun masih melekat di tubuh. Orangtuaku sudah tertidur, jadi untungnya mereka tak melihat penampilan burukku dan tak akan banyak bertanya. Pagi ini, aku langsung mandi dan berganti baju dengan piyama, lalu kembali tidur. Kudengar jelas ketukan di pintu dan panggilan Mama yang mengatakan sudah tengah tujuh. Tapi aku mengabaikannnya dan tetap memejamkan mataku. Sampai Mama tak sabaran lagi dan memilih membuka pintu. Langkahnya cepat ketika mendekati tempat tidurku, menggoyangkan pundakku pelan dan berusaha membangunkan.
Awalnya aku tak ingin bangun, tapi guncangan Mama semakin besar saja, kubuka mataku perlahan dan menatapnya. “Kamu kenapa? Sakit?” Mama bertanya.
Aku mengangguk pelan, “Anna gak enak badan, Ma. Lemes. Boleh gak hari ini enggak sekolah?”
Mama menghela napas panjang, “makanya semalam kamu pulangnya kemalaman, kan? Mama aja tidur jam dua belas sewaktu Cindy pulang. Kamu kebanyakan di luar sih, makanya sakit.”
Memang, jam dua dini hari aku sampai rumah, tapi bukan itu yang membuatku tak ingin sekolah. Aku tak ingin menatap Pangeran dulu, saat ini saja hatiku sudah sakit hanya memikirkan tentangnya.
Aku tak menjawab Mama.
“Yaudah, nanti Mama titipin sama Cindy suratnya.”
“Gak usah, Ma,” kataku mencegah, “aku udah nelpon Putri biar dipermisikan.” Jangan sampai satu kelasku tahu kalau Cindy adalah adikku.
Mama mengangguk, “Mama masakin bubur sama ngambil obat dulu. Gak perlu ke rumah sakit, kan? Ngerepotin aja.”
Aku balas mengangguk pasrah lalu kembali menutup mata. Membiarkan Mama keluar kamarku segera. Kemudian kedua kelopak mataku membuka kembali. Sesuatu yang hangat menuruni mataku, segera kuhapus air mata itu. Awalnya hanya karena perkataan Mama. Kenangan lama tentang Mama yang tidak bisa tidur karena aku kena pilek mulai membanjiri kepalaku. Berapa tahun lalu itu? Ah, dua tahun sebelum Cindy membuat masalah. Sekarang, saat aku sakit, Mama bilang aku merepotkan. Mungkin... aku memang hanya penambah beban. Kugigit bibirku sendiri saat suara mulai lolos dari mulutku. Pemikiran tentang kata-kata Mama tadi sudah sangat meremas jantung, apalagi mengingat semua alasan di balik itu. Pertama Mama, kedua Pangeran. Siapa lagi selanjutnya yang akan dia rebut? Kenapa selalu Cindy yang menjadi penyebab irisan di hatiku? Siapa dia sampai berani-beraninya melukaiku? Siapa dia hingga bisa membuatku menangis?
Dia bukan siapa-siapa.
Kututup semua tubuhku menggunakan selimut. Aku ingin beristirahat sebentar saja. Semuanya ini terasa melelahkan. Menutup mata dengan kuat, aku berharap agar dunia mimpi menarik dan menenggelamkanku.
♕♕♕
Mama pergi bersama temannya sekitar jam setengah delapan lalu. Sejak itu, aku bisa dengan puas menangis. Rasanya masih sakit, memikirkan Mama. Tapi, aku berusaha terbiasa. Sudah beberapa tahun aku diperlakukan seperti ini. Aku seharusnya sudah biasa. Yang jadi masalah utama adalah... aku tidak akan pernah bisa terbiasa dengan kelakuan Cindy kalau itu menyangkut Pangeran. Kenapa orang yang ku cintai memilih gadis lain yang bukan siapa-siapanya? Aku lebih lama mengenal Pangeran, sejak kelas satu SMP. Aku selalu di sampingnya, menjadi temannya dan tempatnya untuk berkeluh kesah. Kenapa dia? Kemapa bukan aku?
Aku masih ingat kejadiannya dengan sangat jelas, bagaimana aku bertemu dengan Pangeran pertama kali. Saat itu, dia datang entah dari mana, menjulurkan tangannya padaku, “lo gak papa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...