"Satu detik perhatian dan pelukanmu."
-----
Kukira aku akan bahagia. Setidaknya untuk satu hari ini. Tapi, itu hanya imajinasi konyol yang terlalu mustahil untuk terjadi secara nyata.
♕♕♕
“Kedinginan?”
Aku menoleh pada Pangeran yang datang dengan sebuah handuk di tangannya, serta satu lagi tergantung di leher. Sebelum aku menjawab, dia sudah menyampirkan benda itu di bahuku.
“Thanks,” ucapku sambil tersenyum tipis. Tolong jangan bertanya apa yang terjadi setelah kejadian yang kuanggap sebagai peluk-pelukan manis tadi, karena sungguh, aku sama sekali tidak tahu. Ingatanku tidak bisa diandalkan. Sudah ratusan kali, yang menempel dalam kepalaku hanyalah betapa buruknya jantungku berdetak, atau panas yang menjalar. Dan sekarang, aku sudah duduk di kursi panjang berbahan kayu dengan cat merah yang sudah agak memudar.
Aku melepas dekapan tanganku, lantas membungkus tubuh lebih dalam pada balutan handuk. Kutatap Pangeran lagi, yang duduk menatap ke arah laut, melihat tangannya mengeringkan rambut dengan cepat.
“Segitu pengennya lo buat ngeringin rambut doang?”
“Gak juga, sih. Tapi kalo bisa cepat ngapain lama-lama?”
Aku terkekeh melihat betapa berantakan rambutnya, pun tidak semua bagian yang terkena usapan kilat itu. Aku menunggu selama lima detik agar dia ikut mengeringkan rambut di sebelah kiri. Tapi itu tidak kunjung terjadi, hingga aku gemas sendiri.
Tanpa sadar, tanganku sudah bergerak mengambil alih handuk, mengusapnya jauh lebih lembut dan rapi.
Aku tersenyum bangga setelah melihat hasil pekerjaanku. Menarik handuk itu turun dari kepala, “gini, kan, beres.”
Pangeran menahan tanganku yang hendak turun, membuatku segera menatapnya dengan bingung. “Apaan?”
Dia tidak menjawab. Tatapannya terkunci mantap. Apa aku pernah bilang aku suka mata Pangeran? Aku menyukainya. Sungguh.
Di luar dugaanku, Pangeran meletakkan tanganku kembali ke atas kepalanya. “lagi,” katanya sembari menggerakkan tanganku dengan gerakan lamban di kepalanya.
Aku tersenyum geli dilanda keheranan, “sejak kapan lo semanja ini?”
“Sejak lama,” jawabnya singkat sambil menundukkan kepalanya sedikit, mungkin mencoba agar aku bisa menjangkau semua bagian kepala.
“Sejak lama? Kok gue gak tau?”
“Karena lo memang gak boleh tau.”
“Lho? Kenapa?”
“Pasti lo nganggap gue anak kecil.”
“Hah? Apaan sih, gak jelas banget, haha.”
“Gue mau kelihatan dewasa di depan lo.”
Aku tahu, pendengaranku masih bagus. Dan aku juga tahu, tanganku berhenti dari kegiatannya.
Kutundukkan arah pandangku, mencoba menemukan mata Pangeran yang kusuka itu. Tapi dia tetap menunduk; memerhatikan gambar ilusi yang dibuatnya dengan jari telunjuk di atas kursi.
Kugelengkan kepalaku cepat, mencoba menyadarkan diri. Pangeran selalu begitu. Kata-katanya sering kali membuat orang salah paham.
Kulanjutkan lagi gerak tanganku, mengusap rambutnya yang sudah hampir kering.
“Ran, dewasa atau kekanakan, manja atau enggak, bagaimana pun elo, gak bakal ngerubah cara pandang gue sama lo.”
Wah, apa itu? Bagaimana bisa kata-kata sok bijak itu keluar dari mulut Anna Tasya Hendranata?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...