"senyuman paksaan untuk sebuah penderitaan."
-----
Gue aja deh yang ke rumah lo
Pesan itu kukirim via sms dengan tujuan kontak bernama Pangeran♥️ di handphone milikku. Setelah mendapat balasan persetujuan darinya, kuisi tasku dengan beberapa buku Matematika, merapikan penampilan dan memastikan bahwa aku sudah tampil secantik mungkin.
Siang tadi di sekolah, nilai ujian Matematikaku hancur--–aku tak terkejut karena sudah menduga dari awal. Pangeran mengomeliku panjang lebar bahkan sampai ke hal-hal yang kelewat jauh; “nanti kalau elo udah gede bakal kerja apa? Ya kali ada orang yang mau nyewa anak yang gak tamat ujian Matematika doang. Mau lo jadi ibu rumah tangga? Tapi entar anak lo siapa yang ngajarin? Gak mungkin elo. Masa sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya jadi pembantu di rumah juga?”
Untung aku cinta, kalau tidak, mungkin namanya sudah terpampang di papan nisan.
Kupastikan penampilanku sekali lagi. Aku tersenyum puas. Cantik.
Aku keluar rumah, sudah izin sejak pulang sekolah pada Mama. Cindy tak ada, aku sudah mulai tak peduli lagi dengan anak ingusan yang satu itu. Lebih baik seperti ini. Dari pada repot memikirkannya yang ujung-ujungnya membuat naik darah dan kepala pusing.
Sesampainya di rumah Pangeran, kupencet bel dan tak menunggu lama, pagar sudah dibukakan oleh seseorang.
“Bang Raja? Tumben udah di rumah.”
Bang Raja, anak kuliahan yang merangkap sebagai kakak dari Pangeran tersenyum, “kuliah lagi gak padat, jadi pengin pulang cepat aja,” balasnya, “lo apa kabar, dek? Kita udah lama gak ketemu, ya? Terakhir kali itu...”
“Waktu nerima raport, Bang, tahun lalu,” kulanjutkan ucapan Bang Raja yang bagiannya ia lupakan.
Bang raja mengangguk-anggukkan kepalanya, “iya, udah lama banget, ya? Lo makin jarang datang ke sini?”
Aku balas mengangguk, “ho-oh, Bang. Pangerannya tuh, marahin, masa dia jarang ngundang gue. Belum lagi dia gak pernah bilang kalau lo pulang ke rumah. Padahal kan, gue bisa datang.”
Terkekeh, Bang Raja kembali berkata, “yaudah, nanti gue yang marahin tuh anak. Lo masuk aja dulu, Pangerannya lagi mandi.”
Memasuki rumah, Bang Raja menuntunku ke dalam kamar Pangeran. Sudah hal lumrah bagi kami untuk memasuki kamar teman. Bahkan pernah beberapa kali aku masuk begitu saja ke rumah kawan-kawanku lalu mengeksplorasi kamar mereka seenak jidat. Ah, aku ingat satu kejadian---sewaktu kami kelas sebelas kurasa, aku menerobos ke kamar Reza dan cowok itu hanya memakai sebuah bokser, duduk di depan komputer, ditemani tisu yang ada di sudut meja. Aku yakin sekali wajahku memerah kala kejadian itu terjadi. Spekulasi-spekulasi jahat meranjau otakku dengan serbuan tak henti-hentinya. Sejak saat itu, aku membuat peraturan untuk mengetuk pintu kamar Reza lebih dulu agar tidak terjadi hal memalukan seperti itu.
Tapi setidaknya, dari kejadian itu aku disadarkan bahwa Reza si alay yang memiliki perwatakan sedikit kemayu, tetaplah seorang lelaki.
Oh, karena hal itu pula, aku juga jadi tahu kalau ternyata dia memiliki perut kotak-kotak.
Kuharap wajahku tidak kembali memerah sebab memikirkan peristiwa canggung itu.
Tunggu, aku jadi penasaran.
Aku belum pernah melihat secara langsung bagaimana bentuk perut Pangeran.
Pasti seperti roti sobek yang dimiliki oppa-oppa Korea yang disukai Mama, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...