“kadang gue suka kesal gitu sama orang yang lagi jatuh cinta.”
-----
Badmood? Tentu saja. Telingaku terasa panas setiap kali Mama menasihati tentang menjaga Cindy baik-baik di sekolah. Memangnya aku pengasuhnya apa? Dia itu sudah besar dan bisa jaga diri sendiri, kenapa pula aku harus dilibatkan begini. Oh, asal kalian tahu saja, Cindy dimasukkan ke sekolah yang sama denganku. Belum cukup melihat wajah jeleknya di rumah, aku juga harus melihatnya di sekolah.
“Ann, kamu dengar gak?” Mama bertanya lagi, melihatku yang tak berselera makan dan hanya mengaduk-aduk sarapanku.
Aku hanya bergumam sebagai jawaban. Sudah empat hari Cindy menginjakkan kaki di rumah ini lagi, dan rasanya waktu berjalan lebih lambat. Bahkan duduk di sampingnya seperti ini barang satu detik saja terasa berabad-abad lamanya. Memang terdengar berlebihan, tapi itulah yang kurasakan.
“Nanti Cindy dijaga, jangan biarin anak nakal ganggu dia. Kasih kenal ke guru-gurumu, biar waktu belajar juga diperhatikan...” Mama kembali mengoceh tentang hal yang sama untuk ke enam kalinya pagi ini. Aku tak mendengarnya lagi, sibuk bermain dengan pikiranku bagaimana di sekolah nanti--–tanpa kehadiran anak sialan itu tentunya. Aku memotong telur dadarku menjadi lebih kecil lagi, menyendokkannya ke dalam mulut dengan ditemani sedikit nasi. Persetan dengan Cindy, aku mau makan dengan tenang sembari memainkan khayal.
Merasa sudah kenyang, aku segera bangkit berdiri, membuat atensi sepenuhnya dijatuhkan padaku. “Anna ke mobil duluan ya? Mau teleponan sama teman,” alasan kuberi sembari membersihkan mulut dengan tisu.
Mama mengangguk.
Aku melangkah menjauh, keluar rumah dan memasuki mobil. Mendudukkan diri dengan nyaman di kursi penumpang, membuka handphone, dan bermain di media sosial. Tak banyak yang bisa kutemukan di sana, hanya hal membosankan lainnya. Hampir saja aku mematikan ponselku kalau bukan karena adanya notifikasi pesan dari salah satu temanku.
Eh, lo udah siap akuntansi belom? Bagi napa
Membaca pesan Putri segera membuatku mengernyitkan kening. Segera kubongkar isi tasku dan mengambil catatan akuntansiku yang cukup tebal. Kubuka halamannya sampai lembaran yang terakhir kutulis di sana. Aku tak mencatat pengingat adanya PR atau apapun. Aku bahkan tak ingat bahwa kami punya PR.
Pr apaan? Bukannya kita kagak punya pr ya??
Tak berapa lama kemudian, balasan dari Putri kembali masuk.
Masa lo gak ingat sih? Itu, yang diumumin si Labil minggu lalu.
Aku menggaruk kepalaku bingung. Sekali lagi mencoba untuk mengingatnya. Yang ada di kepalaku hanyalah datang ke sekolah, duduk bersama Putri. Saat aku mengobrol dengannya, Abil datang ke dalam kelas dan berteriak tentang sesuatu, selanjutnya aku kembali membicarakan Pangeran. Yang Abil bilang waktu itu hanyalah meminta perhatian sebentar. Aku tak menggubrisnya, kupikir itu mungkin saja hal yang tak berguna.
Lihat, betapa bodohnya kau, Anna!
Kukirim lagi pesan padanya, memintanya untuk datang cepat agar sama-sama menyontek dari yang lainnya. Tepat saat itu, Papa dan Cindy menyusul masuk. Cindy duduk di samping Papa, memasang seatbelt. Kemudian Papa segera melajukan mobil ke sekolah tujuan kami.
Percakapan tak banyak kami lakukan, palingan hanya Papa yang bertanya-tanya pada Cindy dan memberikan nasehat-nasehat biasa. Aku merasa terabaikan.Mendengus pelan, kunyalakan lagi handphone dan membuka pesan. Segera kuketik dengan cepat dan mengirimnya. Selang sepuluh detik saja, Cindy membuka ponselnya yang baru saja bergetar. Dia kelihatan sedang membaca lalu melirik ke arahku. Kusunggingkan sedikit senyum miring sebagai hadiah tambahannya. Cindy menunduk pelan, bisa kurasakan ketakutannya dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...