Bab 38

585 70 3
                                    

"Tersenyum rasanya begitu menyakitkan."

-----

Aku menahan langkah kakiku. Mengangkat kepala dan menatap gedung yang entah kenapa terlihat begitu besar dan mengintimidasi. Tidak ada orang di sana selain aku, Cindy, juga pak satpam yang tersenyum ramah—seolah dia tidak tahu apa-apa. Atau mungkin dia memang tidak tahu apa-apa.

Ide buruk.

Aku berbalik, “g-gue bolos aja hari ini.”

Cindy yang ada di sampingku hanya mencoba mengangguk. Mungkin mengetahui isi pikiranku yang takut sekolah sejak peredaran video itu. Aku sudah melangkah empat langkah ketika suara Cindy kembali terdengar, “perlu diantar, Kak?” aku menggeleng sebagai jawaban, kemudian mempercepat langkah sebelum ada siswa lain yang datang. Angkutan umum bukan pilihan, karena pasti ada siswa yang naik transportasi tersebut. Sedangkan ojek online butuh waktu, dan aku tidak mau berlama-lama di sini. Tapi berjalan kaki juga bukan opsi yang bagus. Banyak anak sekolahan yang memilih jalan kaki karena dekat. Kuacak rambutku pelan. Seharusnya aku menyetujui tawaran Cindy---setidaknya aku tak akan sendiri dan Cindy bisa memperingati apa saja jika ada yang melihat. Hanya saja ketika aku menoleh lagi pada Cindy, tak ada lagi gadis itu di sana, dan aku sudah lumayan jauh dari gerbang. Kuembus napas panjang lalu menatap ke depan; pada kendaraan yang berlalu lalang dan orang-orang yang melakukan kegiatan mereka seperti biasa. Memang hanya aku yang ketiban sial.

Lalu aku mendengar suara bising sepeda motor—bukan dari jalan raya di depan, tapi dari belakangku. Dan sebelum aku sempat mencari tempat bersembunyi, dia sudah berhenti di sampingku. Jantungku sudah tak terkontrol, aku juga tak berani melirik barang sedikit pun.

“Naik.”

Napasku tercekat selama lima detik sebelum benar-benar mengenali suara itu.

Kali ini, badanku ikut mengarah padanya. Tapi ketika mataku beradu pandang dengan miliknya, aku menunduk.

“Ayo naik,” katanya lagi. Kini sambil menyodorkan helm lain padaku. Aku memang ingin pergi, tapi melibatkan Abil agaknya terlalu buruk. Dia pasti akan terkena dampak akibat perbuatanku. Jadi aku hanya menggeleng kecil, masih menunduk dengan bibir bawah tergigit gugup.

“Gak mau, nih?” tanyanya, “kalau gitu, elo gue culik,” dan tepat ketika Abil mengatakan itu, sebuah helm terpasang di kepalaku secara paksa—namun berhati-hati. Aku sontak mendongak, mendapati kaca penutupnya terpasang. Abil membukanya, lalu tersenyum, “naik sendiri atau gue gendong?” seraya menaikturunkan alisnya.

“Bil—“

“Oke, gue gendong.”

Sambil mengatakan itu, Abil turun. Jadi sebelum aku sempat memproses apa-apa, masing-masing tangannya sudah berada di punggung dan kakiku. Mengangkatku dengan kelewat mudah hingga teriakan kecil lolos dari mulutku. Aku belum memberontak, tapi ketika ingin melakukannya, dia sudah mendudukkanku di jok belakang sepeda motornya. Kemudian dia naik, “pegangan, nanti jatuh,” ucapnya sembari menyalakan mesin kembali.

Aku tidak menurut. Bukan berniat membantah, tapi jari-jariku hanya mampu sampai ke atas pangkuan. Abil menggas motornya, belum berjalan. Dia menoleh sedikit ke arahku meski tak bisa melihat, “kalau jatuh bukan salah gue, ya?”

Meski mengatakan itu, dia tetap meraih tanganku. Meletakkannya di pinggangnya lantas kembali berkata, “tapi kalau lo jatuh, lecet, jadi makin jelek.”

Aku masih tak menanggapi gurauannya, namun kedua tanganku bertahan di sana. Sampai dia membawaku pergi dari sini.

♕♕♕

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang