Bab 12

584 80 8
                                    

“Eh, An, dada lo kalah sesenti sama dia,”

-----


Sewaktu Pangeran bilang akan menemaniku latihan, aku merasa senang. Namun kini, aku harus menarik kata-kataku lagi. Pangeran duduk di salah satu kursi yang tersedia di aula, sedangkan kami para pemeran sedang duduk bersila di tribune mendengar setiap arahan Bu Eka--–kecuali aku yang sibuk mencuri pandang ke Pangeran.

Cowok itu setia menatap ke satu arah; Cindy.

Aku tidak buta untuk tidak melihat itu, tidak juga bodoh untuk memahami situasi. Pangeran hanya datang ke sini untuk memperhatikan Cindy. Dia hanya ingin Cindy. Amarah langsung membakar dadaku tanpa bisa kukendalikan, tanganku tak kuasa mengepal kertas naskah yang kupegang.

“An?” Abil menyenggol lenganku dengan sikunya, “Bu Eka udah manggil lo dua kali.”

“Eh?” aku beralih menatap Bu Eka yang memegang naskahnya sembari bersedekap. “Kertasnya salah apa, Anna? Kamu tidak suka naskahnya?”

Kugelengkan kepalaku lalu menjawab cepat, “bukan, Bu,” sanggahku, “saya hanya latihan marah, berusaha mendalami peran kok.”

Bu Eka sepertinya tak percaya, tapi dia memilih mengangguk dan mengatakan, “baiklah, tapi saat ini dengarkan penjelasan saya,” kemudian kembali memberikan kursus singkat mengenai akting. Aku menunduk, berusaha merapikan kertas naskah yang sudah terlipat-lipat. Saat itu kurasakan ada pandangan tertuju padaku, kupalingkan kepalaku ke samping, menemukan Abil yang menatapku sembari mengangkat kedua alis.

“Apa?” aku bertanya pelan.

“Serius?” hanya itu responsnya lalu kembali memperhatikan Bu Eka. Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi kucoba untuk tak acuh dengan itu. Abil itu memang dasarnya anak aneh.

Bu Eka mengomando latihan, menyuruh kami membaca bagian kami lalu mempraktikkannya. Bagian yang paling tidak kusuka adalah saat aku berbicara dengan Cindy. Menambah jengkel saja.

Saat ada adegan aku memukul Cinderella, aku benar-benar ingin serius melakukannya. Namun kehadiran Bu Eka dan Pangeran mengurungkan niatku. Jadi kali ini, dia selamat.

Lagi.

Adegan terakhir adalah Abil dengan Cindy yang bersama. Happily ever after. Haha. Memuakkan setiap dongeng memiliki penutup seperti itu. Karena di dunia ini tak pernah ada kebahagiaan yang bertahan selamanya. Akan selalu ada akhir, dan akhirlah yang menjadi bagian paling menyedihkan.

Aku mendatangi Pangeran, memilih duduk di sampingnya sembari mengikat rambut, “Ran, gue lapar. Kantin?” ucapku mencoba menarik perhatiannya.

Pangeran menoleh padaku sebentar, kemudian kembali menatap panggung di mana dua pemeran sedang beradu akting, “gak nunggu Abil aja? Biar sekalian.”

Aku menatap ke arah pandang yang sama, merasa kesal setengah mati. Tentu saja dia tidak menunggu Abil. Dia  menunggu si Pemeran Utama. Tapi aku memilih mengangguk, lalu memainkan handphone sebagai pengalih perhatian menunggu Abil selesai. Bagaimana pun, aku hanya bisa menurut. Kalau dia kubawa lari, yang ada aku malah dianggap penganggu. Dan ya, aku tidak mau itu terjadi.

“Kita istirahat dulu, setengah jam lagi kembali ke sini untuk melanjutkan latihan!” Bu Eka berseru lalu menepuk-nepuk tangannya--–yang kuanggap sebagai tanda pengusiran.

Abil datang menghampiri sembari bersungut-sungut, “padahal gue udah janji nonton bareng Kakak.”

“Lo kencan sama Kakak lo lagi?” aku bertanya, tak kuasa menahan tawa.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang