Bab 37

587 67 17
                                    

"Aku tak sanggup lagi."

-----

“Ini yang lo bilang ide gila?”

Itu Gibran, yang langsung menarikku dari dalam kelas selepas penyebaran video penyiksaan Cindy. Tadi semua orang menatapku, termasuk Pangeran dan Reza yang penuh tanda tanya. Saking bergetarnya tubuhku, aku tak bisa lagi menatap jelas isi video yang dimulai dengan lepasnya tamparanku pada pipi Cindy itu. Tapi aku masih ingat kejadiannya. Saat buku Sejarahku tertinggal, dan aku memanggil Cindy untuk menghubungi Mama—Ah, bodohnya aku! Aku bahkan baru ingat ada satu bilik yang tertutup rapat. Dia pasti orang yang merekam.

An, ini apa?” Reza bertanya tadi. Aku tak bisa menjawab apa-apa, bahkan menatap orang lain pun tidak. Kemudian, Pangeran ikut bertanya, “An? Ini settingan doang, kan?” tapi aku dapat mendengar jelas dia sedang meredam amarah.

Sebelum telingaku menangkap pertanyaan lain, Gibran sudah datang dan membawaku pergi dengan alasan makan. Nyatanya, dia membawaku ke belakang sekolah.

Namun aku juga tak bisa menjawab pertanyaannya.

“An, jawab,” ucapnya lagi, lebih menekan kata-katanya, “ini ide gila yang lo bilang waktu itu, kan?”

Aku bisa saja mengangguk dan membuatnya percaya padaku. Tapi, tubuhku membeku sepenuhnya. Aku bahkan tak yakin apa aku masih menggerakkan dada untuk bernapas atau tidak.

“Lo sama sekali gak ngebully dia kan?”

Aku masih membisu.

Gibran bertanya lagi—sesuatu yang sama, kurasa. Namun darah yang mendengung dalam telingaku tak membiarkan untuk mendengar.

“K-kak?”

Seseorang menyentuh pundakku dan menggerakkannya agar atensiku tertuju padanya.

Aku bahkan tak tahu bagaimana bisa Gibran sudah tidak ada, digantikan dengan Cindy yang sekarang ada di hadapanku. Keningnya berkeringat dan napasnya terengah-engah.

“K-kita pulang aja gimana?”

Dia jelas-jelas khawatir, atau hanya berpura-pura. Akan tetapi, aku tak menolak saat tangannya menarikku untuk berjalan. Tubuhku lemas dan aku merasa akan jatuh, hanya saja kakiku tetap melangkah ke gerbang sekolah mengikutinya.

Dia berbicara kepada satpam—aku tak tahu bagaimana dia bisa membujuk bapak itu hingga mau membuka gerbang dan membiarkan kami lewat tanpa surat ijin. Cindy memanggil taksi. Dan aku diam selama perjalanan ke rumah.

Sesampainya di sana, Cindy tetap menuntunku turun. Membawaku masuk rumah, dan membantuku berbaring di tempat tidur. Melepas sepatuku, lalu menyelimutiku.

“Aku ambil air hangat, ya, Kak?”

Mulutku masih terkunci. Yang kulakukan hanya menarik selimut untuk menutupi sampai leher, lalu berbalik membelakanginya. Cindy keluar kamar dan aku memejamkan mata. Tidak tertidur meski aku sudah mencoba.

Meski aku sudah lelah.

“Kak?”

“Iya?”

“Cindy malu.”

“Loh? Kok malu, sih? Itu kan teman-teman kakak semua.”

“Kakak cantik, aku enggak. Kakak pintar, aku enggak. Kakak jago nari, aku cuman bisa main piano—itu gak sekeren kakak. Cindy malu, Kak. Cindy juga gak mau malu-maluin kakak. Gak usah kenalin, Kak. Cindy gak mau.”

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang