Bab 40

696 73 14
                                    

"Apa sekarang gue udah terlihat?"

-----

Embun pagi masih memenuhi taman belakang---keseluruhan sekolah sebenarnya, mungkin juga kota. Hawa dingin menempeli kulitku yang tak terbalut jaket, tapi aku tak kunjung beranjak dari kursi tempatku duduk sejak beberapa menit lalu.

Aku sudah menjalani hukumanku tadi; mengepel seluruh lantai tiga. Datang terlalu terburu-buru ke sekolah hanya untuk itu; agar tak ada yang melihat (Pak Satpam dan Bu Fatmah tidak masuk hitungan). Mereka melihatku dengan penuh kebingungan awalnya. Mungkin menyangka aku gila karena datang jam setengah lima subuh. Kelewat aneh bahkan untuk anak yang paling rajin sekali pun. Pak Satpam masih memakai kaus dan celana training yang dia pakai untuk tidur dan Bu Fatmah baru datang membawa minyak goreng dan bahan masakan.

Ah, Mama juga mempertanyakan kedatanganku ke sekolah yang tidak masuk akal itu tadi. Bedanya, aku menjawab jujur pada Pak Satpam dan Bu Fatmah kalau aku dihukum, sedangkan pada Mama kukatakan saja ada PR yang harus dikumpul hari ini dan satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah ke rumah Abil untuk menyelesaikannya. Mama marah. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih ringan. Mungkin karena kata-katanya yang keluar dengan kasar, "kamu ini selalu gak becus kalau urusan sekolah. Gimana nanti kalau UN? Terus ujian masuk kuliah? Terus waktu kuliahnya? Memangnya si Abil bakal terus di samping kamu buat ngasih contekan? Sekalian aja nikah sama dia sana!"

Bukan suaranya yang ketus atau kalimat yang jelas-jelas mengatakan aku tak becus. Tapi karena pertanyaan akan 'masa depan' yang Mama lontarkan.

Meskipun sebelumnya tekadku memang sudah bulat, namun ucapan Mama itu semakin menguatkanku. Aku tak akan merepotkan Mama lagi. Aku janji. Aku akan benar-benar jadi anak yang berguna.

Aku mengeluarkan ponselku yang sudah kunyalakan semalam (memberanikan membaca semua pesan-pesan kasar yang masuk. Aku tidak menyalahkan mereka. Tidak sekali pun. Sebab aku tahu, kalau aku ada di posisi mereka, aku juga akan sangat membenci seorang Anna Tasya Hendranata). Kubuka layar kuncinya, melihat jam yang menunjukkan pukul lima lewat delapan. Masih cukup lama.

Aku memutuskan berdiri, berjalan ke area parkir sepeda. Papa memang masih tidur di rumah saat aku berangkat, kurasa kelelahan setelah beberapa hari tugas di luar pulau. Cindy juga sama, masih terlelap di balik selimut. Jadilah, aku hanya memakai sepedaku seorang diri.

Kulepas kuncinya, kemudian memegang setir. Setelahnya memutar sepeda sambil tetap berjalan di atas tanah. Aku mengangguk sopan pada Pak Satpam yang sudah memakai seragam; perasaanku saja, tapi kukira bapak ini mewanti-wanti ada murid lain yang datang.

"Pak, saya mau jalan-jalan sebentar."

Dia mengangguk, "oh, silahkan, Neng. Jangan jauh-jauh mainnya, ya?"

"Iya, Pak. Makasih."

Satu hal yang kusesali hanya ketidakmampuanku untuk membalas senyuman ramah yang dilempar padaku.

Aku berhenti melangkah ketika hampir menuju persimpangan. Mataku mengarah ke bawah, pada jalan beraspal yang dikotori debu dan daun kering. Tempat yang sama, aku yakin, walau hanya cahaya dari lampu jalan yang menerangi. Di sinilah Abil menjemputku dua hari lalu---atau sesuai sebutannya waktu itu; menculikku.

Ada sesuatu tentang Abil yang tak bisa kumengerti bahkan setelah aku mencoba memutar otak semalaman. Seakan dia menyimpan rahasia yang tak bisa diberitahukan padaku. Memang aku menyebut itu rahasia, tapi entah mengapa aku merasa semua orang tahu kecuali aku. Dan jujur saja, itu membuatku sedikit frustrasi. Apa ini juga yang dirasakan Abil ketika dia tak tahu tentang pertunanganku dengan Gibran?

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang