Bab 31

561 81 20
                                    

"Ingin memutar kenangan berharga di kepalaku, di saat dulu senyum berharga tercetak di wajahnya, hanya untukku."

-----

Beberapa detik tetaplah hanya beberapa detik.

Aku ditemukan pingsan dua hari yang lalu di dalam toilet. Bukan adegan pingsan yang akan kupilih kalau bisa. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin memang sudah seharusnya seperti itu.

Mama dan Papa sedang pulang untuk mengambil pakaian ganti, kata Pangeran, jadi dia diperintahkan untuk tugas jaga. Dia tidak menyinggung Cindy, artinya dia belum tahu siapa gadis itu yang sebenarnya. Syukurlah.

Aku mengangguk mendengar penjelasannya yang terlalu terperinci—bahkan sampai berapa ongkos yang dia keluarkan untuk naik angkot. Aku ingin bertanya kenapa dia tidak menggunakan sepeda motornya saja, tapi ada pertanyaan yang menurutku jauh lebih penting.

“Siapa yang nemuin gue di toilet?”

“Petugas Kebersihan, dia pikir elo lagi yang aneh-aneh di dalam. Tapi katanya digedor-gedor juga gak nyahut. Jadi pintunya didobrak deh. Tau-taunya elo pingsan. Gak etis banget sih. Pingsan masa di toilet? Haha, pingsan di pelukan gue gak mau?”

Aku menatapnya tanpa ada niatan untuk tertawa menanggapi candaannya. Dia memutuskan untuk berhenti berhahaha kala menyadari aku tak menganggapnya lucu—bahkan sudut bibirku tak berkedut sedikit pun.

“J-jadi, ehem, katanya elo kecepekan sampai pingsan gitu. Makanya, lain kali jangan terlalu paksa buat latihan. Itu gak sebanding sama kesehatan lo, An.”

Aku memilih menatap ke arah lain; tepatnya pada salah satu pohon paling rindang yang ada di sana. Tidak ada yang spesial, hanya saja itu jauh lebih baik ketimbang menatap Pangeran.

“An, kalau elo udah diizinin pulang, kita jalan-jalan, yok?”

Aku ingin mengangguk, namun segera mengurungkan niat. Kali ini, menundukkan kepalaku. Fokus pada sepatu yang kupakai menari waktu itu.

Lo aja ingkar sama janji lo, Ran.

“An?”

Aku masih tetap pada posisiku; membuka mulut pun tidak. Awalnya kupikir aku hanya marah karena mengingat kejadian dua hari yang lalu. Tapi, tidak. Aku tahu aku lelah. Dengan semuanya.

Bukan latihan yang terlalu keras bikin gue pingsan, tapi elo, Ran. Elo dan semua orang yang nyakitin gue.

“An, elo belum makan? Kita makan dulu, yok?”

“An, badan lo masih lemas?”

“An, kita balik ke kamar lo, ya?”

“An—“

Aku tak ingat lagi apa saja yang dia katakan. Satu yang pasti, aku hanya tetap tak menanggapi. Aku ingin menjauh. Dengan begitu, mungkin saja rasa sakitnya akan berkurang. Dia tidak akan memilihku, kan? Bahkan setelah aku berjuang mati-matian untuknya.

Namun ketika aku merasa sesuatu menyentuh tanganku yang terletak di atas kursi—hangat, jantungku masih berdetak kencang.

It’s always him.

“An,” dia mempererat genggamannya, “maaf.”

Aku hanya bisa terdiam. Suaranya terdengar begitu lirih, seakan penyesalan yang menghantam hampir saja membunuhnya. Bukan urusanku. Biar dia merasa tersiksa juga. Itu memang salahnya. Dia ikut ambil andil untuk membuatku menderita.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang