"Aku terpaksa berpura-pura setiap saat, dan itu melelahkan sekali."
-----
Kukeluarkan semua isi tasku. Semua buku dan peralatan sekolah berserakan di atas meja, sementara Putri mencari di laci. Aku panik. Kuangkat tasku dan membalikkannya kemudian menyentak-nyentak berharap buku Sejarahku akan muncul secara ajaib.
Tetapi tasku sudah benar-benar kosong. Bahkan sebutir debu pun tak ada yang tertinggal di sana. Kucari lagi di antara bukuku yang ada di atas meja. Hasilnya tetap nihil.
“Gak dapat, An?” Putri bertanya sembari mendirikan tubuhnya.
Aku menggeleng, meremas rambutku lalu jatuh terduduk di atas kursi, “bakalan mati gue! Udah Bu Grace galaknya minta ampun lagi! Gimana dong, Put? Mati gue!”
“Lo gak bisa ngubungin nyokap lo apa? Minta dianterin?” Putri mencoba memberi solusi.
Tetapi aku tahu semuanya itu akan sia-sia. Kalau Mama pasti tak akan mau repot mengantar bahkan jika aku memohon-mohon sekalipun. Kecuali... bukan aku yang meminta.
“Gue ke toilet dulu deh. Kebelet ini,” aku memegang perutku, mencoba berakting senatural mungkin. Tanpa mencoba pun sebenarnya aku bisa, hanya saja ini Putri yang sedang kubohongi. Meski aku sering berpura-pura, kadang kala dia bisa mengetahuinya. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia tahu selama beberapa tahun kami bersama. Mungkin dia semacam nenek sihir, atau ahli telepati, kupikir begitu, dulu. Ternyata dia hanya sahabatku.
“Masih sempet-sempetnya lo ke toilet, An,” Putri menggelengkan kepalanya pelan, “yodah, sana! Gue malas nemenin lo.”
Aku mengerucutkan bibir dan memberengut---masih menjalankan lakonku, kemudian berjalan cepat ke toilet perempuan.
Beberapa siswi sedang ada di sana, melakukan urusannya masing-masing. Aku segera menuju salah satu bilik lalu mengambil telepon dan menyuruh Cindy datang secepat mungkin.
Tak butuh waktu lama, dia sudah berada di depan bilikku dan mengetuk pintunya. Aku membuka, melihat Cindy yang datang dengan ngos-ngosan. Kutatap ke sekeliling, tak ada lagi siswi di toilet, kecuali kami dan seseorang yang berada di dalam bilik tertutup di ujung sana.
Kembali kuarahkan pandang pada sosok Cindy yang menunggu penjelasan keperluan apa hingga aku memanggilnya. “Handphone lo.” Dia mengeluarkan benda itu dari saku roknya. “Hubungin Mama, minta buat nganterin buku paket Sejarah yang ada di atas meja gue. Bilang kalau lo butuh buku itu buat ngerjain tugas. Nanti lo jemput di pagar, gue bakalan di sana juga.”
Dia tidak menganggukkan kepalanya, hanya memandangku sebentar dengan ekspresi rumit. Tapi aku bisa membacanya. Dia merasa prihatin. Perasaan kasihan itu, aku tidak membutuhkannya dari Cindy---aku tidak membutuhkannya dari siapa pun. Mendadak aku merasa marah, aku ingin membentaknya saat itu juga. Aku ingin meremukkan tulang-tulangnya, membuatnya berdarah-darah. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Nanti. Mungkin nanti.
Cindy melakukan yang apa yang kusuruh. Diteleponnya Mama sementara aku memainkan kuku-kukuku sebagai penghilang rasa bosan menunggu dan emosi buruk itu.
“Ma, bisa minta tolong, gak?”
“...”
“Gini, buku paket Sejarah kak Anna, dia bilang ada di atas meja belajarnya, bisa Mama nganterin ke sini, gak? Soalnya Cindy perlu buat presentasi Sejarah nanti.”
“...”
“Ya, kan materi kelas aku sama Kak Anna ada yang sama. Lagi ngebahas perang Indonesia ngelawan penjajah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...