"Apa kau juga merindukanku?"
----
“Hai-hai Kakak-Kakak semua! Gak mampir ke Ultra Choco, nyesal looohh! Kita punya segala jenis coklat yang pastinya bikin melelehhh! Mari ke mari! Eh, Kakak yang lagi pacaran! Ayo, ajak pacarnya ke sini! Suasana di dalam juga romantis bangeeet.”
Aku menoleh pada gadis dengan pakaian kerja yang tampak seperti seragam sekolah. Dia menatap kami, tapi aku ragu. Jadi, kutunjuk diriku sendiri, “aku?” dan bertanya tanpa suara.
Dia mengangguk antusias, “tentu saja, Kak, masa jomblo yang berdiri di samping Kakak?”
Karena penasaran, aku menoleh ke samping, di mana seorang cowok menatapnya dengan membelalakkan mata. Dia berdengkus kasar sebelum akhirnya berjalan menuju si gadis penjual, “heh, gue punya pacar di rumah, ya!”
“Oh, punya toh. Maaf, Kak! Soalnya Kakak jalan sendiri kayak kesepian selama delapan belas tahun. Lagian, di rumah? Kakak nyimpen pacarnya di rumah, ya? Kalau gitu, Kakak punya bukti punya pacar?”
“Hah? Ngapain juga gue ngasih bukti ke elo?”
“Oh, tidak perlu, Kak. Tapi saya hanya mengasumsikan kalau Kakak seorang jomblo sejati!”
“Udah gue bilang gue itu enggak jomblo!”
“Kalau gitu, silahkan mampir, Kak! Beli coklat untuk pacar Kakak! Gak ada ruginya, kan?”
Dan si cowok menggeram kesal sebelum akhirnya melewati si gadis dan masuk pintu. Strategi pemasaran yang lumayan cerdik.Oke. Pertanyaan: buat apa aku memerhatikan itu?
“Lo mau masuk, An?”
Kutatap Abil yang sedang menatapku pula. “Enggak usah deh. Kita balik aja, yok?”
“Eh, Kakak-Kakak mau ke mana?”
Aku berhenti hanya untuk menatap kembali gadis itu. “Maaf, kita gak minat,” kataku langsung.
“Tau gak, Kak, kenapa hari Valentine sering banget dikaitkan sama coklat?”
Untuk apa dia mempertanyakan itu?
Kugelengkan kepalaku.
“Tentu saja karena coklat itu enak! Apalagi kalau dimakan bareng orang yang disayang, pasti bakal jauh lebih enak! Kak, Kakak gak mau romantisan bareng ceweknya?”
Yang terakhir itu ditujukan untuk Abil. Aku sudah mengangkat tanganku dan hendak mengatakan kalau kami tidak pacaran. Tapi Abil bertanya, “An? Lo gak mau coklat?”
“Eh? Tapi yang lain—“
“Lombanya selesai setengah jam lagi, kok. Jadi masih sempat. Lagian, sekalian aja beli sama yang lain.”
Awalnya aku ragu. Tapi kepalaku segera mengangguk.
“Nah, gitu dong, Kak!” seru si gadis sambil menjentikkan jari dan tersenyum lebar, “silahkan masuk, dan katakan pada pelayannya kalau Kakak mau paket romantis. Nanti, Kakak akan dapat meja khusus, gantungan pasangan yang imut-imut,” dia menunjukkan dua gantungan merpati kecil—tebakanku lima ribu dapat dua, “ah, juga...” kali ini menggunakan tangannya di sisi bibir sambil berbisik, “ada diskonnya, Kak.”
Aku membuka mulut, mau mengatakan kalau kami ambil meja yang biasa saja, bukan paket romantis yang ada diskonnya. Namun, Abil meraih tanganku, “Yok?”
Setelah kupikir-pikir, aku tersenyum kecil. Dasar Abil. Dia pasti mengincar diskon. Kami mendapat gantungannya, masing-masing menerima satu. Dia membantuku berjalan perlahan untuk masuk. Seperti yang dikatakan si gadis tadi, Abil segera memesan paket romantis itu. Si pelayan mengarahkan kami ke ruangan yang berbeda. Hanya ada beberapa meja dengan dua buah kursi yang tersedia. Dan benar saja, yang ada di sini hanya pasangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...