"Aku tak bisa menyakitinya lebih jauh."
-----
Pijakanku seolah hilang.
Atau mungkin, kakikulah yang terasa begitu lemas hingga tak sanggup untuk menopang tubuhku.
Aku jatuh terduduk, tapi itu tidak sakit sama sekali. Karena sekarang semua berpusat pada perasaan yang jauh lebih mengerikan.
Baru dua detik lalu aku memasuki ruang kelas. Baru satu detik lalu aku melihat meja dan kursiku. Dan sekarang, aku hanya bisa diam dengan muka pucat dan telinga berdengung tak jelas.
Pelakor. Pelacur. Wanita murahan. Ular. Rubah. Aku tak tahu lagi apa kata-kata kasar yang dicoret asal di mejaku dengan type-x, spidol, lipstik, kapur, ditemani banyak kunyahan permen karet serta lumpur. Satu-satunya yang tampak bagus di sana hanyalah kotak berlapis kertas kado merah mengkilap dengan pita biru, terletak tepat di tengah meja. Aku tidak perlu melihat apa isinya. Sudah pasti itu hal buruk. Orang gila macam apa yang memberi hadiah di atas sumpah serapah?!
Aku tak bisa berpikir.
Aku salah apa?
Apa lagi-lagi karena perjodohan yang tak bisa kuhindari itu? Kenapa tak ada seorang pun yang bisa melihat keadaanku yang sebenarnya?
Kuhapus tetesan air mata yang keluar. Menghirup udara sedalam mungkin dan mencoba untuk kembali tenang. Seharusnya aku tidak menghindari siapa pun dengan datang lebih cepat bahkan sebelum gerbang sekolah terbuka. Namun kuusir penyesalan yang tidak berguna lagi itu. Dengan tenaga yang kupunya, aku kembali berpijak sebagaimana seharusnya. Mengabaikan debu yang mengotori rok serta kakiku. Dengan gontai, maju dua langkah agar berada tepat di depan mejaku. Mataku masih melirik kata-kata kasar itu, tapi kuusahakan untuk tak mengeluarkan air mata lagi.
Tanganku bergetar meraih kado itu—sekali lagi mengutuk diri karena berani-beraninya mencoba melihat isinya meski tahu itu hal buruk. Sembari menggigit bibir, merancang skenario terburuk (tikus—atau hewan lain—mati atau fotoku yang dicoret, tusuk, dan kena guna-guna bermodal mantra dari internet (aku tahu tak akan ada yang mau membuang-buang uang ke dukun di saat nasibku saja sudah separah ini)).
Pita kado sudah lepas. Hanya menunggu untuk membuka tutup. Sebentar, kututup mataku dan merapal doa. Dalam detik ke tiga, kuembuskan napas cepat dan menarik tutup kado.
Itu bukan bangkai atau fotoku yang diguna-guna.
Hanya sebuah undangan.
Dicetak dengan tinta berwarna emas. Aku mengambil lembarannya dan membuka perlahan. Cantik sekali jenis huruf yang dipakai. Seandainya kata-kata itu tidak ada di sana, aku mungkin saja hampir berpikir ini cocok untuk referensi undangan pernikahan. Sekali lagi, seandainya.
Tanggalnya jatuh pada hari ini. Pukul sepuluh pagi.
Acara pemakaman Anna Tasya Hendranata.
Deg
Yang kudengar selanjutnya adalah sebuah teriakan. Teriakanku. Melempar undangan sialan itu sambil mundur. Terlalu ceroboh ketika aku sampai terjatuh lagi dan memutuskan untuk menggeser tubuh dalam posisi itu. Hingga aku sampai di luar kelas. Dalam keadaan menangis dan sendirian---
“An?”
Seseorang mendekatiku dan menepuk pundakku. Secara refleks, aku menjauh dan menyentak tangannya.
Dia menatapku bingung, tapi segera berjongkok dan hanya mengatakan, “apa yang terjadi?”
Dia melirik ke dalam kelas, memicingkan mata sedikit meski aku tidak mengatakan apa pun. Selanjutnya, dia segera berjalan masuk dan memeriksa mejaku. Mendapati sesuatu di bagian belakang dan membaca kertas undangan pemakamanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...