Bab 33

630 75 3
                                    

"Bisakah aku memiliki sosok seperti Gibran di sisiku?"

-----

“Ma, ini terlalu berlebihan.”

Mama menutup majalahnya, menatapku dengan pandangan bosan yang selalu ia tujukan untukku, “apanya yang berlebihan? Gibran itu teman satu sekolah kamu, kan? Dia sering ke rumah, sopan juga anaknya, bahkan ini permintaan Nenek. Nenek ingin cucunya menikah dengan cucu temannya. Apa itu salah? Dari pihak ayahmu, hanya kamu cucu perempuan yang dia punya. Memangnya kamu mau Joshua yang menikah dengan Gibran?”

“Menikah? Ma, aku masih delapan belas.”

“Gak ada yang minta kamu menikah hari ini atau besok. Pacaran aja dulu, memang gak bisa?”

“Ma, tolong bujuk Nenek buat batalin perjodohan konyol ini.”

Mama memutar bola matanya, bangkit berdiri dari sofa dan berjalan ke arah koper yang menjadi tempat pakaianku selama dirawat. Dia membukanya, mengeluarkan sesuatu dari sana, dan menunjukkannya padaku, “ini permintaan Nenekmu, Anna. Hargai itu.”

“Tapi, Ma, ini juga pertaruhan hidup Anna.”

Mama sudah berjalan mendekat ke arahku, “pakai ini besok malam. Kata dokter kamu sudah sembuh. Besok kita bertemu dengan keluarga Gibran.”

“Gibran udah punya pacar, Ma.”

“Terus? Masih pacaran, kan? Bukan nikah juga. Tinggal putus saja—“

“Pacar Gibran itu Putri, Ma, sahabat aku sendiri. Gimana bisa Mama maksa aku nyakitin Putri?”

Untuk mengatakan hal itu saja, tubuhku sudah melemas dan suaraku hampir hilang.

Mama terdiam. Tapi tak berlangsung lama. Dia meletakkan gaun merah itu di pangkuanku, lantas berkata, “ini permintaan Nenek.”

Kemudian, Mama hanya bisa meninggalkanku menanggung beban itu sendirian.

Aku bahkan tak tahu sejak kapan aku sudah meneteskan air mata. Mengingat kejadian tadi sore, membuat dadaku semakin diremas. Aku kesulitan bernapas, tapi entah mengapa masih bertahan hidup, meski sakit yang kuderita bisa saja membunuhku.

A-apaan, sih? Kalian tau kan gue lagi sakit gini. Gak lucu, tau. Dan sejak kapan Putri jago akting? Haha, suruh dia masuk lagi. Prank kalian gagal total.”

Tapi, tak ada yang menjawab. Aku menoleh pada Gibran lagi, yang tertunduk diam dengan tangan menutup wajahnya, “oi, Gib, elo juga satu. Wah, ternyata gue bukan ratunya akting, dong. Haha.

Masih, Gibran tetap tak menjawab.

G-Gib, seriusan, stop ngeprank gue.”

Untuk beberapa detik pertama, dia hanya mencoba mengatur napasnya. Setelahnya, mengangkat wajah dan memandangku dengan pandangan bersalah lagi.

An, tolongin gue.”

“A-apaan? Gue bilang gak lucu, tau! Kejar Putri sana! Nanti dia gak tahu kalau pranknya udah gagal—“

“Gue gak yakin dia bakalan mau bertemu sama gue.”

Gib, gue bilang ini gak lucu!”

“Gue aja yang ngejar Putri,” Reza berucap dan tanpa banyak berpikir dia langsung berlari keluar. Untuk sepersekian detik Reza menyeberangi kamar, aku bisa melihat wajahnya kacau dan khawatir.

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang