"Si Cantik ini memendam luka yang begitu dalam."
-----
Putri pindah bangku.
Aku menatap mejaku dan Putri, yang kosong melompong. Setelah kuperhatikan seluruh kelas, aku bisa menemukan Putri duduk di samping Tika, tertawa lebar memerhatikan sesuatu di ponsel.
Ini... Rasanya ternyata jauh lebih menyakitkan.
"Wassup?"
Seseorang melingkarkan lengannya di pundakku, tersenyum lebar ketika aku mendongak. Lantas, dia membawaku duduk di kursiku, sementara dia duduk di kursi Putri---yang sebelumnya.
"Lo udah ngerjain Sosio, belom?"
"Ada pr?"
Putri---maksudku, tidak ada yang memberitahuku tentang pr sebelumnya. Mungkin karena hanya Reza yang tahu aku akan sekolah hari ini.
Reza mengangguk, "banyak. Tapi karena gue anaknya baik, gue kasih lo contekan."
Biasanya, hanya Putri yang berbuat seperti itu.
"Makasih," kataku sambil mengeluarkan buku-buku dari tasku.
"Elo makasih mulu."
Aku tahu dia bermaksud menyinggung apa yang terjadi semalam, mungkin ingin bertanya apa yang terjadi dengan Gibran setelahnya atau mungkin hanya ingin aku berhenti membebaninya. Yang manapun itu, Reza tidak mendapatkannya. Aku memilih membisu dan mulai mengerjakan pr.
"Bagi gue contekan juga dong," Abil tiba-tiba muncul entah dari mana. Tadi dia memang tidak kulihat di dalam kelas. Dia tersenyum lebar pada Reza, tapi sesekali mencuri pandang ke arah Putri dengan raut bertanya. Ah, benar. Dia tidak tahu, ya?
Reza menggeleng-gelengkan kepalanya dengan angkuh, melipat tangan di depan dada, kemudian menyahut, "no, no, no," katanya agak lambat, "kalau elo harus bayar dulu."
"Pelit banget, Monyet!"
"Suka gue lah. Gue yang punya!"
"Sama teman sendiri aja perhitungan!"
"Dude, dalam dunia bisnis, gak ada yang namanya teman."
"Jahat bener lo, Anji-"
"Rez, ini apaan?"
Bukannya aku tak bisa membaca tulisan Reza, hanya saja mereka terlalu ribut dan ini tidak bagus. Seakan-akan sedang mengimplikasikan aku baik-baik saja setelah semua yang terjadi pada sahabatku.
Mereka berhenti berdebat dan Reza segera mengatakan apa yang kutunjuk di bukunya, lantas keduanya hanya mengobrol seperti biasa. Sementara aku kembali diam; pura-pura sibuk menyalin. Tapi perasaan itu tidak bisa ditepis. Bahwa aku rindu Putri. Setengah mati.
Pangeran memasuki kelas tepat ketika bel berbunyi. Pandangannya pertama ditujukan untukku, dan ekspresi aneh itu ada lagi di wajahnya. Raut yang dia tunjukkan ketika Putri membentakku di rumah sakit, mengatakan hal yang bahkan belum kuketahui waktu itu.
Tidak hanya padaku ternyata. Dia juga menatap Putri, bergantian beberapa kali. Sampai akhirnya, mungkin memutuskan untuk berjalan ke arahku saja.
Bodoh.
"An, udah siap pr sosio---oh, lagi ngerjain, ya?"
Aku tidak menjawab, menggerakkan kepalaku pun tidak. Hanya diam menunduk menatap kosong pada barisan kata yang Reza tulis---rapi, seakan bocah besar itu memang mempersiapkannya untuk kusalin.
"Lo udah siap, Bos?" tanya Abil sembari menghadap ke arahnya, dibalas anggukan ringan, "bagi gue dong. Reza pelit."
"Heh, gue kan udah bilang---"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella's Sister
Teen Fiction"Kamu tak akan tau seberapa banyak aku berharap akulah Cinderellamu." ----- Ini sudah jelas bukanlah kisah Cinderella atau sepatu kaca atau bagaimana bisa dia bertemu dengan Pangeran dan 'hidup bahagia selamanya'. Sama sekali bukan. Melainkan kisah...