Bab 39

627 68 26
                                    

"Dia segera memalingkan muka."

-----

Aku ingin menjadi burung. Yang bisa pergi ke mana pun ia mau. Tragisnya aku hanya seorang manusia.

“Kak?”

Aku menoleh pada Cindy. Seperti hari sebelumnya, kami berdua ada di depan gerbang sekolah yang masih sepi.

Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh seraya aku menarik napas dan mencoba menguatkan diri. Tidak apa-apa, ulangku lagi untuk yang ke sekian kalinya, tidak apa-apa. Bagaimana pun caranya kau harus menyelesaikannya, An.

Satu langkah kuambil ke depan, diikuti langkah ke dua, lalu langkah ke tiga. Sampai aku berada di depan kelas dengan Cindy yang mengikuti sambil was-was.

Aku berbalik menatap Cindy. Tanpa berbicara seolah aku bisa telepati. Aku tak bisa, tapi dia mengerti.

“Aku pergi dulu, Kak,” katanya lalu menjauh ke kelasnya.

Aku kembali menatap pintu kelas yang tertutup. Menarik napas panjang lagi sambil mengutarakan dalam hati mantra yang sama; tidak apa-apa, kau harus menyelesaikannya.

Tanganku bertengger ke kenop pintu, perlahan kucoba memutarnya dan mendorong pintu.

Satu keterkejutan untukku ketika mendapati Abil ada di sebelah mejaku. Dia menoleh padaku dengan kekagetan yang sama.

“An? Sekolah hari ini?”

Aku tak menjawab karena memang itu tidak perlu. Apalagi atensiku hanya tertuju pada saputangan yang terimpit antara tangan Abil dan mejaku.

Tanpa bertanya pun, aku tahu apa yang terjadi.

Aku berjalan mendekatinya. Dia mencoba menutupi mejaku, tapi terlambat, aku bisa melihat semuanya. Kuambil saputangan lain dari tasku, bersama dengan botol minuman. Saputangan milik Abil sudah kotor, sedang coretan kasar di meja belum hilang sepenuhnya.

Tidak apa-apa.

Kutuang air ke saputanganku secukupnya. Lalu ikut membersihkan.

“Biar gue aja—“

Aku langsung menjauhkan saputanganku ketika Abil mencoba mengambilnya. “Enggak apa-apa,” kataku dengan suara yang mulai bergetar dan mata yang memanas.

“An—“

“Enggak apa-apa,” tegasku lagi. Menggosok kuat-kuat mejaku walau buku jariku memanas karena ikut tergesek dengan permukaan meja. Aku mengedip-ngedipkan mataku untuk menghalau air mata yang mulai terkumpul.

Ini belum seberapa, An. Dibandingkan tamparan Mama, hal sepele begini belum seberapa.

Kau memang lemah—sangat lemah, tapi berperilakulah seakan kau ini kuat. Seperti kepalsuanmu selama ini.

Kami selesai tepat sebelum siswa lain masuk kelas. Dia agaknya terkejut dengan keberadaanku, tapi setelahnya memandang sinis dan duduk ke kursinya. Aku bahkan merasa tak pantas untuk menyebut Eko sebagai teman sekelas.

Abil meletakkan tasnya di kursi di sebelahku, “mulai sekarang gue sebangku lo, ya? Mata gue mulai rabun.”

Aku tak menjawab. Hanya mengeluarkan beberapa buku yang bisa kugunakan nanti sebagai pengalih perhatian saat yang lain mulai masuk.

Tak butuh waktu lama, kelas sudah diisi banyak orang juga bisikan-bisikan yang sengaja dibesarkan. “Enggak tau diri banget, ya?”, “kalau gue mah, udah milih pindah sekolah aja,”, “percuma cantik kalau cuman bisa ngenindas orang,”, “cantik dari mananya? Gue lihat-lihat, si Cindy yang jauh lebih cantik dari dia. Dianya aja yang sok-sokan.”

Cinderella's SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang